Oleh: dr. Eva Lestari, M.Kes
SONORABANGKA.ID - Hipertensi sebagai penyakit katastropik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dilakukan pencegahan agar tekanan darah stabil.
Dalam situasi pandemi saat ini, hipertensi menjadi salah satu penyakit yang wajib diwaspadai karena dapat membuat kondisi pasien Covid-19 lebih menderita.
Hipertensi disebut sebagai silent killer atau pembunuh senyap karena seorang yang memiliki risiko hipertensi kadangkala tidak menyadari jika dirinya menderita penyakit tersebut.
Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada Oktober 2020, misalnya, ditemukan 1.488 pasien memiliki penyakit penyerta dengan persentase terbesar adalah hipertensi 50,5 persen, kemudian diabetes melitus 34,5 persen, dan penyakit jantung 19,6 persen.
Sementara dari kasus pasien meninggal akibat Covid-19 diketahui, 13,2 persen mengidap hipertensi, 11,6 persen menderita diabetes melitus, dan 7,7 persen dengan penyerta penyakit jantung.
Hipertensi dapat mengakibatkan seseorang menderita gangguan fungsi jantung, gangguan ginjal dan stroke, sehingga dibutuhkan kewaspadaan ekstra untuk menurunkan risiko penyakit tersebut.
Pada Infodatin Kementerian Kesehatan (2019) disebutkan, hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup tenang.
Prevalensi hipertensi di Indonesia
Prevalensi hipertensi pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 secara nasional sebesar 34,11 persen. Wilayah tertinggi prevalensi di Indonesia adalah Kalimantan Selatan, yaitu 44,13 persen dan terendah adalah Papua 22,2 persen sedangkan Kepulauan Bangka Belitung kita sendiri diurutan 16 dengan 29,90 persen, terhitung tinggi dibandingkan penyakit tidak menular lainnya.
Dari sisi usia, hipertensi terjadi pada kelompok umur 18-24 tahun (13,2 persen), umur 25- 34 tahun (20,1 persen), umur 35-44 tahun (31,6 persen), umur 45-54 tahun (45,3 persen),
Umur 55-64 tahun (55,2 persen), umur 65-74 tahun (63,2 persen), umur diatas 75 tahun (69,5 persen).
Sementara itu, berdasarkan data International Health Metrics Monitoring and Evaluation (IHME) tahun 2019 di Indonesia, kematian pada peringkat pertama disebabkan oleh stroke, kemudian diikuti dengan penyakit jantung iskemik atau keadaan berkurangnya pasokan darah pada otot jantung yang menyebabkan nyeri di bagian tengah dada.
Penyebab kematian berikutnya adalah diabetes, sirosis, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), diare, kanker paru, infeksi saluran napas bawah, dan pneumonia neonatal.
Stroke dan penyakit jantung iskemik juga menempati urutan teratas sebagai penyakit yang menyebabkan kecacatan. Oleh karena itu, hipertensi adalah hal yang harus diwaspadai, mengingat akibat hipertensi seseorang dapat mengalami gangguan keseimbangan faal tubuh hingga dapat mengalami stroke dan serangan jantung.
Berdasarkan data IHME tersebut terjadi pergeseran tren penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia. Jika pada 2009 urutan pertama malanutrisi, tekanan darah tinggi dan merokok, maka pada 2019 diketahui tren penyebab kematian adalah tekanan darah tinggi, merokok, dan risiko diet. Hal ini mengindikasikan hipertensi adalah kasus utama yang harus diwaspadai mengakibatkan kematian dan kecacatan.
Dari data di BPJS Kesehatan untuk kasus katastropik pada periode Januari hingga Desember 2019 total terdapat beban biaya sebesar Rp 23,5 triliun. Dengan total kasus sepanjang 2019 sekitar 22 juta kasus dan tren kasus terus meningkat setiap tahunnya begitu juga beban biaya yang akan dibayarkan.
Persoalan global
Hipertensi bukan hanya permasalah di negara kita Indonesia saja tapi masalah diseluruh dunia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan, dalam 30 tahun terakhir jumlah penderita hipertensi meningkat dua kali lipat pada masyarakat di seluruh dunia pada usia 30-79 tahun, dari 650 juta pada 1990 menjadi 1,28 miliar pada 2019.
Meskipun tidak menular, hipertensi menjadi salah satu penyebab kematian prematur di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia mengestimasi bahwa secara global prevalensinya 22 persen dari total penduduk dunia. Sementara upaya mengendalikan tekanan darah tinggi itu hanya dilakukan oleh seperlima penderita. Masih sangat rendah kesadaran masyarakat kita begitupun masyarakat diseluruh dunia dalam mengendalikan hipertensi.
Faktor Risiko Hipertensi
Ada faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat diubah:
Faktor Risiko yang melekat pada penderita Hipertensi dan tidak dapat diubah, antara lain : Umur, Jenis Kelamin, Genetik
Faktor Risiko yang dapat diubah
Faktor Risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita Hipertensi antara lain : Merokok, Diet rendah serat, Dislipidemia, Konsumsi garam berlebih,
Kurang aktivitas fisik, Stres, Berat badan berlebih atau kegemukan, Konsumsi alkohol.
Pencegahan Hipertensi
Cara mencegah hipertensi adalah dengan menghindari faktor yang dapat meningkatkan risiko terserang penyakit ini
Beberapa cara efektif yang dapat dilakukan dalam pencegahan atau pengendalian hipertensi:
- Pertahankan berat badan
- Lakukan olahraga rutin, seperti jalan cepat atau bersepeda 2–3 jam setiap
- Konsumsi makanan rendah lemak seperti ikan laut, minyak ikan dan kaya serat, seperti buah dan
- Batasi jumlah garam dalam makanan, tidak lebih dari 1 sendok teh per
- Hindari konsumsi minuman
- Batasi konsumsi minuman berkafein seperti kopi dan teh
- Perbanyak minum air putih minimal 2 liter perhari
- Hentikan kebiasaan
- Tidur yang cukup 6-8 jam perhari
- Kelola manajemen stres dan menjaga kesehatan mental
- Kontrol rutin tekanan darah setidaknya 1 bulan 1 kali
- Minum obat hipertensi secara rutin dan tepat waktu apabila sudah terdiagnosis hipertensi
Di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 dan kemungkinan menghadapi kondisi endemi, upaya mencegah diatas menjadi kunci utama untuk menekan risiko munculnya hipertensi atau dalam mengendalikan hipertensi yang sudah ada.
Semoga Artikel Ini Bermanfaat Bagi Penulis Serta Yang Membacanya. Terima Kasih