SonoraBangka.id - Di tengah zaman yang penuh hingar bingar informasi seputar jurus sehat yang bikin pusing kepala (dan akhirnya tetap tidak sehat juga) lalu publik menjadi apatis – dan memilih hidup seadanya, yang penting kantong tak kering.
Memang, sebetulnya ini bukan pertanyaan yang layak dijadikan polemik. Apalagi jika didompleng suatu kepentingan yang ‘maksa’.
Dan dengan kantung penuh banyak orang menganggap semua bisa dibeli, termasuk obat paling mahal dan layanan rumah sakit berkelas.
Saya jadi teringat pembicaraan sekian belas tahun yang lalu dengan salah seorang taipan di Singapura – negri yang membanggakan kualitas layanan kesehatannya.
Ia berkata,”Tidak apa-apa kita nikmati hidup di masa muda, sepuas-puasnya selagi bisa, biar tidak menyesal di hari tua.
Selain untuk bersenang-senang, di masa muda itu waktunya cari uang sebanyak-banyaknya, juga tabungan jika sakit nanti.
Lihat orang yang tak punya uang: sudah hidupnya susah, mau mati pun susah!”. Saya tercenung cukup lama saat itu.
Tak lama kemudian salah seorang kerabat menertawakan pekerjaan saya yang dianggapnya seperti memindahkan air laut dengan sendok.
Ia sama sekali tak merasa perlu repot-repot memikirkan apa yang dimakannya sehat atau tidak.
Menurutnya, jatuh sakit ibarat nasib. Tak perlu pula utak atik statistik.
Ada orang yang seumur hidupnya berusaha keras ‘ hidup sehat’ faktanya tidak bahagia, bahkan tersisih dari pergaulan, karena cara makan yang aneh dan tidur ‘kepagian’, sementara orang lain masih menikmati hiburan malam.
Dan, ia menambahkan – semua orang pasti mati – dan ‘saya tidak mau jadi mayat paling sehat di kuburan’.
Barangkali orang-orang seperti itu hanya melihat lingkaran kecil dalam hidupnya.
Bahkan ‘kenikmatan’ jangka pendek, sependek pemahamannya tentang ‘urip sing murup’ – istilah Jawa tentang hidup bernyala penuh dengan gairah dan semangat.
Mencari uang dengan gairah dan semangat justru bisa terjadi jika orangnya sehat.
Sehat bukan hanya sekadar bebas dari penyakit, tapi juga literasinya, pemahamannya, perilakunya.