BangkaSonoraID -
Jika dalam pelajaran sejarah, kita pernah mendengar buku dan guru menyebut ada 4 kasta di India, nah dalam film The White Tiger (2021) yang tayang di Netflix, 22 Januari lalu, kita dapat melihat adanya puluhan kasta lain di bawah Sudra.
Salah satunya seperti yang digambarkan dalam film The White Tiger yang disutradarai Ramin Bahrani, seorang sutradara berdarah Iran-Amerika. Film ini menunjukkan sosok pria dari kelas bawah bertemu dengan tuan majikan dari kelas berada.
Adalah kisah Balram Halwai (diperankan oleh Adarsh Gourav) seorang supir (bukan online ya) yang sungguh setia kepada majikannya, seorang tuan tanah yang korup di Laxmangarh, wilayah miskin di India.
Sebelum meraih cita-cita yang tak terlalu tinggi yaitu jadi supir, Balram hanyalah seorang siswa yang terpaksa berhenti sekolah karena dituntut keluarga miskinnya untuk mencari nafkah jadi pelayan dan tukang arang.
Kisah ini menarik tentang bagaimana pelayan dan tuannya ini merefleksikan potret dinamis di India, negara demokratis terbesar dengan sistem kasta yang memecah belah negara itu.
Dirangkum dari Associated Press, ternyata film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama yang memenangi penghargaan Booker Prize tahun 2008 karya Aravind Adiga.
Nah di filmnya, The White Tiger dibuka dengan adegan Balram yang tengah duduk dalam balutan kostum Maharaja (orang India terpandang di kerajaan Inggris-nonton Victoria & Abdul deh) di kursi belakang sebuah mobil yang tengah ngebut di jalanan Delhi di tahun 2007.
Di depannya, duduk sepasang suami-istri, Ashok (Rajkummar Rao) anak dari tuan tanah dan Pinky (Priyanka Chopra Jonas). Masalah muncul saat seorang anak tiba-tiba menyeberang jalan.
Lewat adegan-adegan selanjutnya, belakangan kita tahu bahwa Balram adalah si supir sementara Ashok, anak majikan utamanya.
Di sepanjang film, Balram berkisah, membagikan strateginya untuk maju, sekaligus menjual ceritanya sebagai refleksi pemberontakan yang banyak dibutuhkan jutaan rakyat miskin India. Mereka, sebut Balram, secara psikologis bak ayam yang terkurung dalam kurungan, terlalu malu untuk memberontak kendati tahu nasib mereka.
“Tidak percaya sedetik pun bahwa ada permainan berhadiah jutaan rupee yang bisa dimenangkan untuk keluar dari kurungan kemiskinan,” kata Balram.
Kalimat ini merupakan pukulan telak bagi “Slumdog Millionaire”, sebuah film yang juga menyoroti kelas bawah India, tapi menawarkan visi pelarian yang lebih fantastis.
The White Tiger sendiri nggak terlalu berbeda jauh dengan Slumdog Millionaire dalam hal meruntuhkan berbagai hambatan demi meraih kesuksesan. Tapi, bila Slumdog Millionaire lebih banyak menyajikan pemberontakan India lewat adegan musikal, The White Tiger memilih memfokuskan diri pada drama kejahatan.
The White Tiger terbilang lebih saksama menuangkan stereotip Hollywood dan Bollywood ke dalam keseharian kehidupan India. Balram, tokoh protagonis, digambarkan memiliki karakter rumit yang layak mendapat empati sekaligus cibiran. Ia mampu bersikap kejam sekaligus tak egois dan mendahulukan kepentingan orang lain. Dalam The White Tiger, sosok Balram mewakili masa depan India.
Menyaksikan akting Gourav dalam karakter rumit yang seimbang itu adalah alasan terbaik untuk menonton film tersebut. Seorang aktor sekaligus penyanyi, kharisma Gourav menjiwai film yang, bila ditangani dengan gaya berat, bisa sangat membosankan. Untungnya, senyum Gourav saat mrnjadi Balram menjadikan film ini manis tapi nyelekit.
Kerja keras sopir Balram menjadi bos di film White Tiger ini pun menunjukkan plot twist yang dapat multitafisr. Penonton harus cerdas menyaringnya. Memilih mana bagian yang mnmjadi contoh untuk bersungguh-sunguh mengejar impian dan mana yang menghalalkan segala cara demi naik kelas.
Sedikit mirip dengan bagaimana akhir para tokoh di film PARASYTE (Korea Selatan) yang berbuah jadi jahat akibat desakan ekonomi. Pun aksi Balram akan terasa menegangkan di bagian akhir filmnya.
Apalagi dengan sinematografi Paolo Carnera yang hidup, Sutradara Bahrani membangun film ini menjadi lebih padat dan tajam. Tema hubungan antara budak dan majikan – Balram dan Ashok – ini begitu kuat tertanam, hingga terasa agak berlebihan. Segera setelah Balram meraih kemerdekaannya melalui pertumpahan darah, film pun berakhir.
So, penonton harus hati-hati menyimpulkan filmnya agar tidak tersesat di kemudian hari. (*)