SonoraBangka.id - Bagas (4) sedang asyik memainkan Hot Wheels miliknya ketika Rani (28) menghampiri bocah laki-laki tersebut.
“Bagas, sudah ya mainnya, ayo beresin,” kata Rani sambal mengelus kepala bocah mungil tersebut.
Meski terlihat agak bermalas-malasan, bocah mungil itu tetap menuruti perintah ibunya tersebut.
Ia mengumpulkan mainan mobilan-mobilannya yang tercecer di lantai ruang bermain.
“Sambil dihitung ya, biar enggak ada yang hilang,” pinta Rani. “Lima…enam…tujuh…,” suara Bagas terdengar begitu menggemaskan saat menghitung mainannya tersebut.
Kebiasaan membereskan mainan dan kemampuan berhitung seperti yang Bagas lakukan dalam cerita ilustrasi di atas pun ada di dunia nyata.
Namun, tak dimungkiri kejadian sebaliknya juga kerap terjadi. Nah, bila sudah begini, siapa yang dapat mengajarkan mereka?
Usia dini adalah masa krusial
Lima tahun pertama kehidupan anak menjadi fase krusial sekaligus masa emas karena di sini anak akan mengalami perkembangan begitu pesat, terutama otaknya.
Hal tersebut diungkapkan dokter spesialis anak Bernie Endyarnie Medise dalam artikel Kompas, Jumat (24/8/2018).
Inilah mengapa anak usia dini perlu diberi perhatian lebih, baik dari sisi nutrisi, kasih sayang, dan stimulasi.
Semua kebutuhan tersebut tentunya wajib dipenuhi oleh orangtua. Namun, untuk mengoptimalkan pendidikan anak usia dini, peran pendidik juga dibutuhkan.
Secara garis besar, ada dua hal yang perlu ditanamkan pada anak usia dini, yaitu pendidikan karakter dan literasi yang berkaitan dengan akademik.
Karakter
Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), unsur-unsur karakter antara lain budi pekerti, perilaku, personalitas, dan sifat.
Semua karakter tersebut perlu dipupuk sejak usia dini karena inilah yang akan memengaruhi perkembangan akhlak anak di masa depan.
Pakar pendidikan dan penulis asal Amerika Serikat, Robert Fulghum, dalam artikel Kompas.com, Rabu (20/4/2019), mengatakan, untuk membentuk karakter anak usia dini bisa dimulai dengan menerapkan kebiasaan sederhana.
Contohnya bermain sesuai aturan, menjalani hidup seimbang, dan bermain sambil belajar.
Literasi akademik
Menurut pakar psikologi Snow, dalam buku Language Development karangan Hoff, E (2005), anak usia tiga hingga empat tahun sudah dapat mengenali tulisan sederhana, bunyi bahasa yang berbeda, menghubungkan cerita di buku dengan kenyataan, dan tertarik membaca buku.
Itu artinya, anak usia dini sebenarnya sudah mampu belajar literasi, minimal membaca dan menghitung.
Tujuannya, bukan hanya menekankan pada kemampuan baca atau tulis, tapi lebih pada membentuk generasi yang mampu berpikir secara kritis, logis, dan berprestasi dalam bidang akademik.
Selain itu, dengan mengajarkan literasi pada anak prasekolah akan membantu mereka mempersiapkan diri saat memasuki dunia sekolah dasar (SD).
Sebelumnya telah disebutkan, mendidik anak usia dini sudah menjadi kewajiban orangtua, tetapi akan semakin optimal dengan hadirnya peran guru.
Sebuah pepatah mengatakan, “besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.” Orangtua mengajar anak sejak dini, tapi guru yang menajamkannya.
Di Jepang orangtua mengirim anak belajar kepada guru enam hingga delapan jam sehari di sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk belajar.
Para orangtua tersebut menyadari, guru mempunyai otoritas dan orangtua percaya guru membentuk karakter mereka.
Memang, sekolah PAUD menjadi wadah penting untuk mendidik anak usia dini.
Namun, bukan berarti orangtua bisa asal memilih sekolah.
Apalagi, penelitian di Jerman menemukan, anak berkarakter dan pintar secara akademis lahir dari guru yang memiliki keterampilan dan latar pendidikan baik serta terus-menerus ikut pelatihan terkait profesinya.
Dari sekian banyak sekolah PAUD yang ada, ACS Jakarta adalah salah satu sekolah yang menyadari pentingnya guru yang terampil mengirim guru untuk terus-menerus ikut pelatihan.
Adapun pelatihan terdiri dari membuat program atau silabus yang tepat, mengenal karakteristik anak, mengevaluasi, dan lain sebagainya.
Ada tiga pelajaran yang menjadi fokus utama sekolah PAUD ACS Jakarta, yaitu dasar-dasar bahasa (Inggris, Indonesia, dan Mandarin), matematika, dan inquiry learning.
Executive Principal ACS Jakarta Dr Lee Khen Seng menjelaskan, pelajaran inquiry learning diberikan agar mampu anak berpikir kritis dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Nah tentunya, dengan guru-guru yang terampil, diharapkan dapat menciptakan generasi unggul yang siap menghadapi persaingan global di masa depan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dear Bapak Ibu Milenial, Begini Lho Cara Mendidik Anak Usia Dini", Klik untuk baca: https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/11/10350421/dear-bapak-ibu-milenial-begini-lho-cara-mendidik-anak-usia-dini.