Jadi di hari Imlek, akan ada banyak tradisi yang mewarna rumah-rumah masyarakat Tionghoa.
Mulai dari tradisi membasuh kaki orang tua, tradisi memasang tebu di depan rumah, tradisi berburu dan memasang terong susu, tradisi sungkem dan memohon maaf kepada para orang tua, hingga tradisi menyuapi makanan.
Menurut Harjanto, semua tradisi memiliki pemaknaan masing-masing, mulai dari cerita legenda hingga segi estetika.
"Namun esensinya sama sebenarnya, yaitu bahwa tradisi-tradisi itu bertujuan mempererat jalinan keluarga dan kekerabatan, menghangatkan isi rumah," ujar CEO dari PT. Marimas Putera Kencana ini.
Lampion, tebu dan terong susu
Hampir semua tradisi dan ornamen Imlek memiliki pemaknaan sendiri-sendiri.
Barongsai misalnya, ternyata tak hanya atraksi untuk menarik kerumunan saja. Di dalamnya terkandung makna sebuah perlawanan teguh manusia melawan kekuatan roh jahat.
Oey Eng Tek atau Sutikno Wiro Utomo, perajin barongsai asal Semarang, memaparkan bahwa lahirnya barongsai didasari pada cerita rakyat Tinghoa di musim dingin menjelang pergantian tahun.
Di musim dingin tersebut, masyarakat Tionghoa terancam dengan kehadiran makhluk menyeramkam yang bernama Nian, bertanduk lima dan memiliki seringai gigi tajam, yang selalu datang di malam pergantian tahun.
Perlawanan terhadap Nian ini dilambangkan dengan warna merah yang melambangkan keberanian, yang ditingkahi suara tambur juga petasan gaduh yang bertujuan menakut-nakuti Nian.
Selain barongsai, ada pula tradisi lain yang tak kalah menariknya, yaitu memasang lampion, terong susu dan juga tebu.
Soal lampion, Harjanto Halim menyatakan bahwa ada pergeseran fungsi di sini, dari fungsional, menjadi estetik, kemudian menjadi ritual.
"Lampion dulunya ya digunakan sebagai penerangan sebelum ada listrik. Kemudian jadi hiasan khas dengan warna merah menyala. Warna merah dipilih karena melambangkan kebahagiaan."
Warna merah juga dipilih menjadi selubung lampion karena membuat pendaran cahaya menjadi lebih indah, hangat dan temaram.
Sedangkan pemasangan tebu, hingga kini masih dianut oleh beberapa masyarakat suku Hokkian. Tebu sendiri adalah lambang penyelamat.
Dulu, tepat di pergantian tahun, suku Hokkian justru tak merayakan Imlek karena sibuk bersembunyi dari kejaran musuh. Mereka masuk ke kebun tebu untuk bersembunyi, dan baru keluar di hari ke-8 di tahun baru.
Hingga kini masyarakat suku Hokkian masih banyak yang memasang tebu di depan pintu rumah, satu di sisi kanan dan satu lagi di sisi kiri.
Tradisi lain yang juga menarik adalah pemasanan terong susu. Terong ini memiliki bentuk yang khas, berwarna kuning dengan tonjolan-tonjolan di bagian bawah mirip puting susu.
Terong susu melambangkan kemakmuran dan keberlimpahan. Menjelang Imlek, beberapa buah terong susu akan ditata di dekat pohon meihua, di samping ornamen-ornamen meriah angpau merah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita di Balik Lampion, Tebu dan Terong Susu yang Mewarnai Imlek", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/29/120500865/cerita-di-balik-lampion-tebu-dan-terong-susu-yang-mewarnai-imlek?page=all#page2.