Namun atas persetujuan dari istri dan saudara perempuannya, pria tersebut akhirnya dioperasi untuk mendapat perangkat implan.
Dalam praktiknya, para peneliti memasukkan dua susunan elektroda/mikrochip berbentuk persegi berukuran 3,2 mm ke dalam bagian otak yang mengontrol gerakan manusia.
Saat para peneliti meminta pria pengidap ALS untuk mencoba menggerakkan tangan, kaki, kepala dan matanya, sinya syaraf tidak begitu konsisten menjawa pertanyaan ya atau tidak. Setelah gagal hampir 3 bulan, tim peneliti mencoba teknik neurofeedback, yaitu saat seseorang mencoba memodifikasi sinyal otak sembari mendapatkan tingkat keberhasilannya secara real-time.
Para peneliti juga menyetel sistem dengan mencari neuron yang paling responsif dan menentukan cara bagaimana masing-masing neuron berubah sesuai upaya pasien.
Sekitar 3 minggu kemudian, pria pengidap ALS itu mampu menghasilkan kalimat yang dapat dipaham orang lain. Meski demikian, proses komunikasinya berjalan cukup lama. Sebab, dibutuhkan sekitar satu menit untuk setiap huruf atau sekitar 30 menit per kalimat agar memahami pesan yang disampaikan pasien.
Akan tetapi, perkembangan ini menunjukkan adanya peluang penggunaan teknologi untuk mengoptimalkan upaya penyembuhan pasien.
Dirangkum dari Science, Jumat (25/3/2022), evektivitas implan juga bekurang seiring waktu pada pasien, meskipun alasannya masih belum begitu jelas.
Menurut para peneliti, jaringan yang terbentuk di sekitar perangkat implan kemungkinan menjadi dalangnya. Kemungkinan lainnya adalah perkembangan penyakit dan beban otak pasien yang semakin tinggi.
Teknologi ini sendiri masih dalam tahap eksperimen, sehingga opsi implan kemungkinan tidak digunakan secara masif dalam waktu dekat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pakai Mikrochip di Otak, Pria Pengidap Gangguan Saraf Bisa Berkomunikasi Lagi", Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2022/03/25/19020017/pakai-mikrochip-di-otak-pria-pengidap-gangguan-saraf-bisa-berkomunikasi-lagi?page=all#page2.