Ilustrasi
Ilustrasi ( SHUTTERSTOCK)

Tak Hanya Refreshing yang Bikin Overthinking, Ini Tentang Healing!

29 Maret 2022 10:36 WIB

SonoraBangka.id - Duh! Sepertinya aku benar-benar stres banget ni sama kerjaan rumah dan kerjaan kantor.

Dua minggu enggak ada liburnya, mabok banget! Kayaknya, aku butuh healing, deh, kayak orang-orang di Instagram.

Jalan-jalan ke tempat tenang dengan pemandangan yang ciamik plus makan sesuka hati,” kata Sari (29) pada NOVA.

Nah, ungkapan ini mungkin enggak hanya keluar dari mulut Sari saja.

Di luaran sana, pasti ada Sari-Sari lain yang berpikir dan melakukan hal serupa, dengan dalih healing.

Apalagi di masa-masa sulit atur emosi di babak 3 pandemi Covid-19 yang seakan mengalami kemunduran ini.

Tapi, benar, enggak sih, cara tersebut tepat untuk healing?

Jangan salah kaprah!

Healing ternyata enggak sesederhana pergi liburan, meninggalkan segudang pekerjaan, atau makan makanan enak yang membuat kita lupa dengan segala beban, seperti fenomena yang sekarang tengah menjamur di media sosial.

Kelihatannya bikin lega, sih, tapi percaya deh, healing yang salah makna itu enggak akan bertahan lama. Yang ada, setiap butuh “healing”, kita nagih pengin jalan-jalan dan makan enak saja.

Mending kalau lagi ada uang.

Lha, kalau enggak?

Bisa-bisa kantong kering, pikiran tambah pusing, jadinya overthinking.

Adjie Santosoputro, praktisi mindfulness, sepakat.

Pasalnya, liburan dan makan enak itu hanya sekadar refreshing bukan healing.

“Jadi bedakan antara healing dan refreshing. Atau lebih makjleb lagi bisa dibedakan antara healing dengan running. Running dalam arti melarikan diri dari kenyataan. Karena healing itu sendiri, sebenarnya harus melalui proses yang enggak enak, kita perlu sadar akan hal itu,” jelas Adjie saat berbincang dengan NOVA.

Kenapa demikian?

Sebab, healing memiliki arti pemulihan atau penyembuhan diri yang pada akhirnya berujung pada selfhealing.

Meski healing dilakukan dengan banyak pendekatan dan membutuhkan bantuan mendalam dari orang lain atau profesional, ujungnya, tetap diri sendiri yang bisa menyembuhkan.

Menemui Luka 

Dalam proses healing, kita seakan “dipaksa” kembali menyelami luka batin masa lalu yang—tanpa atau dengan sadar— meninggalkan rasa traumatis hingga sekarang.

Adjie menjelaskan proses ini bisa diibaratkan seperti mengobati luka fisik di lutut, akibat terjatuh.

“Zaman dulu, kan, diobati pakai obat merah. Nah, pada waktu luka terkena obat merah, kita meringis, ya, sakit. Ada rasa tidak nyaman. Nah sama, pemulihan, baik itu luka fisik maupun luka psikis, tentu akan melewati proses yang tidak nyaman atau proses yang bahkan menyakitkan karena kita perlu menemui luka tersebut,” tutur Adjie.

Luka psikis atau luka batin sendiri bentuknya bisa sangat beragam, bisa dari innerchild, kegagalan karier, kegagalan rumah tangga, perpisahan, kehilangan, patah hati, kecewa, rasa bersalah, bullying, pandemic fatigue, hingga rasa trauma dari kekerasan yang pernah terjadi di masa lalu, baik kekerasan fisik, psikis, hingga seksual.

Yang bikin miris, sumber masalah ini bisa jadi adalah orang terdekat kita, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2017, memperkirakan 24 juta perempuan Indonesia mengalami trauma akibat tindak kekerasan yang dilakukan orang terdekat.

“Memang salah satu persoalan mendasar hidup kita itu adalah persoalan relasi dengan keluarga. Setiap kita ini mungkin pontang-panting ke sana kemari, bermasalah ini dan itu, setelah ditelusuri, ternyata bisa jadi permasalahan utamanya adalah masalah relasi kita dengan orangtua, pasangan, anak, atau sebaliknya,” papar Adjie.

Tak hanya itu, nyatanya media sosial yang sangat berkembang turut memengaruhi kondisi mental.

Jika dulu kita mungkin hanya dibandingkan dengan tetangga, tapi sekarang kita bisa dibandingkan atau membandingkan diri dengan orang dari berbagai penjuru dunia, sehingga rasa insecure, rendah diri, atau iri hati turut bersarang dalam diri.

Dihantui Masa Lalu

Perlu diingat, persoalan yang sudah dipaparkan tadi, bisa diibaratkan “puncak gunung es” semata.

Masih banyak variabel masa lalu yang mungkin membekas dan meninggalkan luka batin terlampau dalam di diri kita.

Hal inilah yang mendorong proses healing sangat penting untuk dilakukan.

Sebab jika bodo amat menyoal kesehatan psikis, selain trauma masa lalu, berbagai dampak buruk bisa ikut menghantui kita.

Adjie menambahkan, “Ketika kita tidak punya kesadaran untuk merawat batin kita, kesehatan fisik kita juga akan nge-drop. Asam lambung naik, maag, sering migrain tanpa alasan yang jelas, lalu tulang belakang sakit, sampai persoalan sakit fisik lain yang mungkin cukup parah.”

Untuk itulah melalui Isu Spesial kali ini, NOVA mengajak kita untuk lebih memahami proses healing hingga metode yang ampuh dilakukan agar membuat psikis kita lebih sehat dengan atau tanpa bantuan ahli.

Jika sudah dilakukan dengan benar, niscaya kita akan lebih tenang, damai, dan jauh dari WIO (Waktu Indonesia bagian Overthinking) setiap malam.

Jadi, mulai sekarang yuk ramai-ramai jaga kesehatan mental!

Artikel ini telah terbit di https://nova.grid.id/read/053208219/salah-kaprah-healing-bukan-cuma-refreshing-yang-bikin-overthinking?page=all

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm