Mengingat yang 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, tentu CPO tersebut tidak punya pasar.
“Karena tidak punya pasar, PKS tidak sudi memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani,” kata Wayan Supadno.
Akibatnya, kata dia, di banyak daerah petani tidak memanen TBSnya. Sebab kalaupun dipanen, harganya sangat rendah. Hal ini pun dinilai menjadi Bumerang bagi petani sawit.
Apalagi ketika TBS yang tidak dipanen, akan menjadi berkembang biak menjadi jamur yang merusak pohon sawit itu sendiri.
“Jadi sawit itu wajib hukumnya dipanen pada pohon yang sama setiap 15 hari sekali. Jika tidak dipanen, maka akan menjadi bumerang, karena akan menyebabkan penyakit pada pohon sawit itu sendiri. Ini masalah serius yang kami rasakan,” kata Wayan.
Wayan Supadno menceritakan sebelum ada larangan ekspor CPO dan minyak goreng, harga TBS di tingkat petani Rp 3.800 per kilogram. Namun saat ini harganya anjlok bervariasi.
Misalnya ada PKS yang masih bersedia membeli TBS petani Rp 2.000 per kilogram, namun ada yang membeli Rp 1.500, bahkan ada yang dibeli Rp 500 per kikogram.
Bervariasinya harga TBS petani ini, kata Wayan Supadno, lebih disebabkan ke kondisi PKS itu sendiri. Jika PKS tersebut memiliki pasar di dalam negeri, maka dia berani membeli dengan harga di kisaran Rp 2.000 per kilogram.
Namun apabila PKS tersebut berorientasi ekspor, maka dia hanya berani membeli TBS dengan harga yang rendah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "PASPI: Larangan Ekspor CPO Tak Efektif Membuat Harga Minyak Goreng Murah di Dalam Negeri", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2022/05/16/163400026/paspi--larangan-ekspor-cpo-tak-efektif-membuat-harga-minyak-goreng-murah-di?page=all#page2.