Menariknya, Pasar Papringan hadir dari sebuah keresahan Singgih Kartono Susilo bersama timnya dari Komunitas Spedagi.
Resah karena kebiasaan masyarakat desa di Indonesia yang menjadikan hutan bambu sebagai lokasi pembuangan sampah.
“Pasar Papringan ini bagian project Spedagi untuk mewujudkan gerakan revitalisasi desa dengan pendekatan yang kreatif. Mengatasi masalah lingkungan tapi dengan pendekatan sosial ekonomi,” kata Wening.
Tukar Uang dengan Pring
Nah, yang membuat semakin berbeda dan unik, bisa jadi ini satu-satunya pasar yang ada di dunia.
Di Pasar Papringan, kita akan menggunakan keping pring atau bambu sebagai alat untuk bertransaksi.
Jangan khawatir sahabat NOVA, sebelum masuk ke pasar kita dapat menukar uang kita dengan keping pring tersebut. Satu pring setara dengan Rp2.000.
Jadi, langsung datang dan tukar uang untuk bisa berbelanja, ya. Jangan lupa untuk membawa kantong belanja sendiri juga.
Pasalnya, di pasar ini sudah 100 persen bebas sampah plastik. Tapi kalaupun lupa bawa kita bisa membeli keranjang bambu yang dijual di pasar, kok.
Buka mulai dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang, Pasar Papringan hanya digelar 2 kali per 35 hari, yakni hari minggu wage dan minggu pon berdasarkan perhitungan kalender jawa.
“Hal itu bertujuan memberikan jarak yang cukup untuk ibu-ibu atau bapak-bapak di pasar Papringan untuk mempersiapkan semuanya.
Biar ada jarak dan waktu istirahat juga, dan tidak tergesa-gesa,” kata Wening.
Namun, jangan lupa juga untuk selalu cek tanggalan saat mau berkunjung ke Pasar Papringan, ya.
Artikel ini telah terbit di https://nova.grid.id/read/053453546/pasar-papringan-kulineran-di-tengah-hutan-pakai-keping-bambu?page=all