Nah, setelah fase ketegangan itu, sering kali berkembang menjadi tindakan kekerasan (insiden), baik itu secara fisik maupun psikis.
Misalnya pelaku memaki-maki atau bahkan melakukan pemukulan.
“Kalau sudah begitu, korban biasanya jadi sedih. Terus, pasangan yang menyadari berusaha minta maaf. Mereka pun kemudian baikan. Setelah tahapan ini, kami sering bilang dengan fase honeymoon, karena hubungan jadi mesra lagi. Padahal setelah itu, biasanya kembali lagi ke dalam kondisi yang penuh ketegangan,” jelas Inez.
Inez menyebut, kondisi hubungan toksik yang selalu berulang ini biasanya tak terlihat secara gamblang dari dunia luar.
Karena pasangan yang terlibat dalam hubungan itu, sering kali menutupinya dengan mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
Termasuk apa yang mereka pamerin melalui media sosial, padahal yang terjadi justru sebaliknya.
Hubungan tampak tidak sehat, bahkan sering kali salah satu pihak merasa terisolasi.
Dia tak bisa berteman, apalagi menceritakan kondisinya itu pada orang lain.
Celakanya lagi, dalam hubungan toksik perempuan sering kali menjadi korban.
Menurut Inez Kristanti, hal itu terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender, pun juga ketimpangan power dan control.
Selama ini, dalam tradisi biasanya perempuan diajarkan untuk lebih menerima keadaan ketimbang lelaki.
“Jadi begitu berada dalam kondisi tersebut, perempuan cenderung enggak speak-up,” kata Inez.
Oleh karena itu, jika ada korban yang berani speak-up, sudah selayaknya kita dukung dan bantu, seperti halnya kasus Ayu ini.
Nah, itulah mirisnya kasus KDRT Ayu, dan penjelasan tentang alasan susah keluar dari hubungan toksik.
Artikel ini telah terbit di https://nova.grid.id/read/053773496/konten-kreator-di-bekasi-diduga-alami-kdrt-8-tahun-ini-alasan-susah-keluar-dari-hubungan-toksik?page=all