"Kalau dilihat pohon industri, kita sudah mampu mengolah nikel untuk 2 teknologi baik Pyrometallurgy dan Hydrometallurgy. Untuk Pyrometallurgy, kita menghasilkan stainless steel, HRC, dan produk-produk turunannya," ujar dia.
"Tetapi untuk Hydrometallurgy, kita berharap dapat mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) maupun MSP (Mixed Sulphide Precipate). Dari situ, kita olah jadi nikel sulphate dan kobalt sulphate hingga turunan-turunannya, sehingga ekosistem baterai listrik bisa kita ciptakan di dalam negeri," kata Liliek lagi.
Kemenperin juga telah melakukan proyeksi terhadap kebutuhan nikel berdasarkan target kuantitatif dalam Permenperin No. 6/2022.
Berdasarkan studi kasus terhadap baterai kendaraan roda dua dan empat yang beredar di Indonesia, maka bisa diproyeksikan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan nikel mencapai sebesar 25.000 ton, sedangkan pada 2030 mencapai angka 37.000 ton.
"Kebutuhan ini kalau dilihat bisa dicukupi dari pengolahan smelter di dalam negeri sehingga kami dorong itu bisa diolah di dalam negeri, nanti sisanya bisa diekspor," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kemenperin Tegaskan Peralihan ke Kendaraan Listrik Dilakukan Bertahap", Klik untuk baca: https://otomotif.kompas.com/read/2023/11/21/200100915/kemenperin-tegaskan-peralihan-ke-kendaraan-listrik-dilakukan-bertahap?page=all#page2.