Studi menemukan, peningkatan sindrom patah hati kemungkinan terkait tekanan psikologis, sosial, dan ekonomi yang dipicu pandemi.
Tekanan itu mencakup karantina yang dipaksakan, kurangnya interaksi sosial, aturan ketat terkait jarak fisik, dan konsekuensi ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
"Pandemi telah menciptakan lingkungan paralel yang tidak sehat," kata Dr. Ankur Kalra, ahli jantung yang memimpin penelitian.
"Jarak emosional tidak menyehatkan. Dampak ekonomi tidak menyehatkan. Kami melihat sebagai peningkatan kematian non virus corona, dan penelitian kami mengatakan stres kardiomiopati meningkat karena stres akibat pandemi."
Studi ini tidak memeriksa apakah ada hubungan antara sindrom patah hati dan stres karena terinfeksi virus corona, atau melihat anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Para pasien dalam penelitian ini diuji untuk Covid-19 dan tidak seorang pun dari tes mereka yang positif.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Studi: Sindrom Patah Hati Meningkat Selama Pandemi", https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/10/130000320/studi--sindrom-patah-hati-meningkat-selama-pandemi?page=2.