Menurut sebuah karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal Expert Review of Gastroenterology & Hepatology pada 2014, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa cara di mana stres dapat menyebabkan sembelit.
Ini mungkin termasuk:
Dalam situasi stres, kelenjar adrenal tubuh dapat melepaskan hormon yang disebut epinefrin, yang berperan dalam apa yang disebut respons “melawan atau tinggalkan”.
Hal itu menyebabkan tubuh mengalihkan aliran darah dari usus ke organ-organ vital, seperti jantung, paru-paru, dan otak. Akibatnya, pergerakan usus melambat, dan bisa terjadi sembelit.
Menanggapi stres, tubuh bisa melepaskan lebih banyak faktor pelepas kortikotropin (CRF) di usus.
Hormon ini bekerja langsung di usus, yang dapat melambat dan menyebabkan peradangan.
Usus memiliki berbagai jenis reseptor CRF, beberapa di antaranya mempercepat proses di usus, sementara yang lain memperlambatnya.
Stres dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas usus. Permeabilitas ini memungkinkan senyawa inflamasi masuk ke usus, yang dapat menyebabkan rasa kenyang di perut.
Kondisi itu merupakan keluhan umum di antara orang yang berjuang melawan sembelit.
Penelitian belum mengonfirmasi teori ini, tetapi banyak orang percaya bahwa stres dapat mengurangi jumlah bakteri usus yang sehat di dalam tubuh, sehingga memperlambat pencernaan.
Sementara para peneliti telah menempuh “perjalanan panjang” dalam menemukan hubungan antara stres dan sembelit, masih banyak yang harus dipelajari.
Penelitian tentang hormon stres dan pengaruhnya terhadap tubuh sedang berlangsung. Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga dapat mengalami stres dan sembelit.
Dalam sebuah penelitian terhadap anak-anak usia sekolah, para peneliti menemukan hubungan antara paparan peristiwa kehidupan yang membuat stres dan sembelit.
Para peneliti menemukan bahwa anak muda yang mengalami tekanan hidup, seperti penyakit parah, ujian yang gagal, atau kehilangan pekerjaan, lebih cenderung melaporkan sembelit.