Dengan berbagi melalui email, mengirim pesan teks atau gambar sesaat setelah kejadian akan menggantikan kegiatan atau memungkinkan seorang perempuan untuk mengatur kembali kegiatan yang akan lebih menekan.
Profesor Keith Hamptom salah satu dari rekan dari penulis studi tersebut juga menjelaskan kepada The Guardian bahwa aspek sosial dari teknologi ini membuat orang lain sadar akan peristiwa yang menekan dalam kehidupan orang lain.
Sebuah studi dari American Psychoogical Association (APA) di tahun 2017 menemukan fakta lain bahwa mereka yang memeriksa media sosial, email, dan teks berulang kali mengalami stres dengan tingkat keseluruhan 5,3 dari 10 dibanding mereka yang jarang mengontrol dengan jumlah 4,4.
Namun yang perlu dicatat adalah temuan tersebut tidak hanya terkait dengan media sosial, tapi juga seperti terlalu banyaknya kerjaan yang menumpuk.
Jadi, penggunaan media sosial meringankan atau justru meningkatkan stres kita?
Yang perlu dicatat adalah bagaimana keadaan emosi kita selama dan setelah menggunakan media sosial dan tentukan apakah media sosial ini dapat menjadi jalan keluar atau tidak.
Selain itu, pertimbangkan juga bagaimana kita dapat tetap terhubung dengan teman dan keluarga tanpa adanya media sosial.
Intinya, semua adalah keputusan pribadi, dan pasti sulit secara pribadi menyatakan apakah kehidupan online dapat meningkatkan stres kita.
Untuk itu lihatlah respon emosional pada penggunaan media sosial kita, jika hasil yang ditemukan negatif, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk keluar dari dunia tersebut.(*)