SonoraBangka.id - Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Erzaldi Rosman menyampaikan bahwasanya, anak-anak didik sekolah jenjang SLB, SMA, dan SMK yang berada dibawah naungan provinsi, jenjang SMP yang berada dibawah naungan kabupaten/kota serta Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang ada dibawah tanggung jawab kemenag akan berkolaborasi. Karena beberapa sekolah dari jenjang SMP, SMA, SMK, MA dan MTs akan dinilai secara acak, agar tidak bias dalam penilaian melalui standar kompetensi PISA seperti halnya provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penilaian PISA mengambil sampel siswa yang duduk di kelas 7 hingga kelas 12.
Pada tahun 2018, rangking Indonesia di antara negara-negara peserta PISA untuk skor matematika, sains dan literasi membaca adalah, peringkat ke-71 dari 77 peserta. Sehingga, Indonesia dalam hal ini terus mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif dan memberi kesempatan bersekolah kepada lebih banyak penduduk.
Para tenaga pendidik khususnya di Babel harus mampu memproteksi diri dengan kemampuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), agar dapat memberikan pengajaran maksimal kapada siswa sesuai standar PISA. Dalam hal ini, guru menjadi kunci dari keberhasilan program PISA bagi siswa.
"Jangan lupa untuk merubah karakter siswa dengan Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM), yakni dengan mengubah cara mengajar. Untuk mendukung hal ini, kami sedang mengembangkan balai teknologi sumber belajar yang Insyaallah tahun depan fasilitas itu sudah dapat digunakan," ungkapnya Gubernur belum lama ini.
Gubenur Erzaldi berharap bahwa siswa-siswa Babel mampu menjawab Assesment Kompetensi Minimal (AKM) PISA. Selain itu, dirinya menargetkan untuk mencapai mutu pendidikan di Babel dengan skor 410 pada kompetensi Literasi, 416 untuk kompetensi Matematika, dan 419 untuk Sains, dengan rata-rata keseluruhan skor 415.
"PISA sesungguhnya adalah suatu studi internasional di bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi internasional bidang kerjasama pembangunan ekonomi (OECD) yang tujuannya untuk mendorong negara-negara saling belajar satu sama lain mengenai sistem pendidikan sehingga mampu membangun sistem persekolahan yang lebih baik dan inklusif secara efektif,"ujarnya.
Gubernur juga menjelaskan Studi PISA mengukur kompetensi yang dibutuhkan untuk kecakapan hidup. Studi PISA juga tidak hanya melaporkan hasil capaian literasi setiap negara, namun juga informasi mengenai aspek demografi, kebiasaan, persepsi serta aspirasi yang diperoleh dari data respon angket sekolah dan siswa.
"PISA digunakan untuk mendapatkan data-data perkembangan pendidikan secara akurat, membandingkan capaian kompetensi kecakapan hidup siswa Indonesia terhadap standar internasional serta mengetahui perkembangan capaian tersebut antar waktu, saling berbagi pengalaman serta praktik baik tentang sistem pendidikan dengan negara peserta PISA lainnya, dan mengetahui kekurangan suatu sistem pendidikan sehingga dapat dilakukan perbaikan yang efektif,"ungkapnya.
Sementara menurut Sekretaris Dinas Pendidikan Babel, Ervawi, awal mula PISA adalah ketika Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang terdiri dari negara-negara maju berkumpul dan melakukan penelitian dengan mensurvei siswa-siswa di seluruh dunia. OECD memprediksi siswa seperti apa yang nantinya bisa beradaptasi dengan lingkungan dunia pada tahun 2035. Dan hasil survei menemukan bahwa, siswa dengan kemampuan problem solving atau pemecahan masalah yang mampu beradaptasi ke depan.
Untuk membentuk siswa dengan kemampuan tersebut, maka diciptakanlah PISA.
"Jika siswa mampu menjawab tes PISA dengan nilai baik, insyaallah siswa ini akan bisa beradaptasi ke depan," jelas Ervawi.
Untuk itu, bagaimana cara agar anak-anak dapat dilatih untuk berpikir kreatif, inovatif, dan bisa menyelesaikan masalah melalui instrumen PISA yang bukan hanya dilaksanakan melalui tes saja, melainkan dari cara guru dalam memberikan pembelajaran. Akses semua ini bermuara pada pola pikir, dengan menggandeng kemampuan teknologi. Dalam pemahaman, siswa dan guru harus sama-sama menguasai teknologi.
Bagian terpenting dari survei OECD adalah pemecahan masalah yang merupakan keterampilan yang harus dikuasai pada abad 21. Jadi, siswa yang mampu beradaptasi dan dapat mengatasi masalah itulah yang bisa bertahan termasuk di dunia kerja.
"Berdasarkan survei dunia, keterampilan kognitif hanya mempengaruhi 10% keberhasilan manusia, skill hanya 20%, networking atau jaringan mempengaruhi sebesar 30%, dan attitude atau softskill mempengaruhi sebesar 40%. Jadi, berhasil itu adalah softskill, karena pintar tapi tidak beretika akan percuma, sehingga membangun karakter menjadi poin yang sangat penting," tambahnya.