Para taruna yang nggak menyangka bakal mengalami kejadian seperti itu, sontak langsung berhamburan masuk ke dalam kebun karet di depan lapangan. Mereka mencoba melawan para tentara Jepang dengan senjata yang dibawanya.
Akan tetapi, para taruna ini mengalami kesulitan menggunakan senjata karabinnya, karena hanya mengikuti pendidikan yang baru berjalan dua bulan dan terbilang masih seumur jagung untuk seorang prajurit yang harus terjun ke lapangan.
Akhirnya pertempuran itu berakhir ketika hari mulai gelap. Ada beberapa yang masih hidup di tawan Jepang dan ada juga yang melarikan diri.
Namun, nggak seperti Mayor Daan Mogot, Subianto Djojohadikusumo, Sudjono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit, mereka tewas sebagai pejuang dalam pertempuran melawan penjajah itu.
Setelah peristiwa Lengkong terjadi, ada kesepakatan antara pihak Indonesia dengan Jepang. Kesepakatan itu di antaranya jenazah yang sudah dimakamkan bersama di Lengkong dipindahkan dan dimakamkan dengan upacara resmi di Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang.
Tawanan dibebaskan dan dipulangkan ke Tangerang, lalu semua persenjataan dan amunisi dikembalikan kepada pihak Indonesia. Untuk mengenang peristiwa itu, dibangunlah Monumen Palagan Lengkong di Jalan Bukit Golf Utara, BSD City.
Monumen ini bisa dibilang tersembunyi dan nggak ada petunjuk apa pun selain tulisan ”Taman Daan Mogot” di depan rumah bekas markas Jepang.
Jika kalian melihat monumen ini, di dindingnya tercantum sejarah singkat peristiwa Lengkong, juga nama tiga perwira dan 34 taruna Akmil Tangerang yang gugur dalam peristiwa itu. Terukir juga lagu ”Pahlawan Lengkong” yang diciptakan pada Maret 1946.
Nah, itulah kisah Mayor Daan Mogot bersama pasukannya yang berjuang demi Tanah Air melawan penjajah di pertempuran Lengkong. Kini namanya dikenang dan diabadikan sebagai nama jalan. (*)