Angka tersebut lebih rendah dari konsumsi beras, tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
"Dengan demikian, rokok membuat masyarakat semakin miskin. Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin,” tutur Sri.
Jika dilihat dari sisi kesehatan, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19, atau 14x lebih berisiko terkena Covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok.
Selain menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.
"Ini membebani karena sebagian pasien Covid-19 ditanggung negara,” lanjut Sri.
Sri memaparkan, kenaikan cukai rokok juga bertujuan untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja.
Di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun, minimal menjadi 8,7% di tahun 2024.
"Kami mencoba menurunkan kembali prevalensi berdasarkan RPJMN untuk mencapai 8,7%, atau turun dari 9,1% di 2018," tutup Sri.