SonoraBangka.id - Kasus kekerasan pada perempuan masih banyak ditemukan, termasuk di dalamnya ada yang dilakukan oleh pasangan.
Ya, hingga saat ini perempuan masih jadi kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan dan memerlukan perlindungan khusus.
Menurut Yunita Sari, S.Psi, M.Psi, Psikolog, konselor pernikahan di Primasaga Strategi Consultants, salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah faktor kultural yang masih dipercaya oleh sebagian orang.
Di mana konstruksi sosial yang ada menempatkan perempuan pada kelompok masyarakat lemah.
“Beberapa hal yang terjadi karena patriaki di kebudayaan kita relasi gendernya lebih dominan. Secara fisik lebih kuat, memiliki peran yang lebih besar dalam rumah tangga, jadi memungkinkan bagi laki-laki ini untuk menjaga keluarganya, dengan cara yang mungkin kurang tepat, dengan kekerasan,” kata Yunita yang juga dosen di Universitas Islam Bandung (Unisba) kepada NOVA.
Mirisnya, tidak mudah bagi perempuan yang menjadi korban ini keluar dari jerat pasangan yang kasar (abusive), karena alasan ekonomi, anak, atau alasan lainnya.
Enggak jarang perempuan yang terpaksa memilih bertahan, enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya ke pihak berwenang seperti polisi, lembaga bantuan hukum, atau sekadar meminta bantuan profesional psikolog.
Figur atau role model juga bisa membuat seseorang sulit keluar dari hubungan yang diwarnai kekerasan. Misalnya, sejak kecil sudah terbiasa melihat sosok ayah yang kerap melakukan kekerasan kepada ibunya, namun tetap baik terhadap anak-anaknya.
Perempuan yang mendapat perlakuan seperti itu akan memiliki persepsi bahwa figure laki-laki yang melindungi adalah seperti sang ayah.
Sehingga saat menerima kekerasan dari pasangannya ia menganggapnya sebagai hal biasa atau normal, meskipun di saat bersamaan ia juga tersakiti.
Nah, bagaimana bila kita menjadi korban? Apa yang harus kita lakukan?
Kenali Diri dan Pasangan
Cari tahu penyebabnya, alasan kenapa pasangan Anda berbuat seperti itu, cari tahu juga alasan kenapa Anda selama ini bertahan.
“Kebanyakan masalah yang saya temukan itu masih banyak individu yang belum mengenal dirinya sendiri sehingga ketika ada masalah menjadi kehilangan arah,” kata Yunita.
Jangan Menyangkal
Penting untuk tidak menyangkal hal-hal yang sudah terjadi. Tak jarang korban menyangkal perilaku buruk dari pasangannya walaupun ia sesungguhnya menderita.
Kata Yunita, “Memaafkan diri terlebih dahulu, lalu berdamai dengan diri menerima semua kondisi yang terjadi, memaafkan lingkungan dan orang lain.”
Hal ini akan membantu untuk bangkit dari keterpurukan setelah berpisah. Tentu saja hal ini tidak mudah, Anda dapat melakukannya perlahan dan jika dibutuhkan dapat meminta pertolongan psikolog.
Selamatkan Diri
Cari bantuan, baik itu keluarga ataupun lembaga hukum. Selalu abadikan buktibukti penting seperti catat semua tanggal, peristiwa dan ancaman yang dibuat, hingga bukti foto.
Selain itu, pastikan Anda juga sudah mengemas atau mengamankan surat-surat atau dokumen penting.
Semoga semakin banyak perempuan korban yang berani bersuara, sehingga bisa melepaskan diri dari jeratan kekerasan dalam rumah tangga.
Alasan Korban Sulit “Melepaskan Diri”
Ada beberapa alasan mengapa
perempuan sulit keluar dari hubungan
dengan KDRT.
1. Alasan ekonomi
Salah satu alasan perempuan korban masih bertahan adalah karena tidak punya penghasilan dan kemampuan untuk mencari nafkah.
2. Alasan anak
Ada kekhawatiran yang tinggi bahwa bila ia memilih untuk pergi atau melaporkan pasangan, hal itu akan menyakiti dan menggangu psikis anak.
Apalagi bila pasangan sampai harus terkena tindakan hukum.
3. Alasan stigma
Dengan adanya pandangan negatif dari lingkungan soal pasangan yang berpisah atau cerai, meskipun semakin ke sini stigma ini sudah semakin berkurang.