Namun, usaha itu tak berhasil dan Google+ pun ditutup pada 2019. Sementara itu, sejak diluncurkan 2004 silam, Facebook terus mendulang popularitas.
Itu karena Facebook menjadi spesialis di platform sosial. Sedangkan, Google spesialisasinya di mesin pencarian. Itulah mengapa Google+ tak berhasil menyangi Facebook.
Chandlee mengatakan, Facebook sukses dengan algoritma berdasarkan grafik sosial penggunanya. Sehingga, saat ini, Facebook bisa dikatakan menjadi tempat rujukan bagi orang-orang untuk terhubung dengan teman, berbagi foto dan status.
Lain cerita dengan TikTok. Menurut Chandlee, sebagai platform hiburan, TikTok memiliki spesialisasi menghadirkan tren-tren budaya baru.
"TikTok menghadirkan tren budaya dan pengalaman unik yang dimiliki orang-orang di TikTok. Hal ini tidak akan dimiliki di Facebook, kecuali jika Facebook sepenuhnya meninggalkan spesialisasi 'sosial'-nya," kata Chandlee.
Bila meninggalkan spesialisasi sosialnya dan pindah haluan mengikuti TikTok sebagai platform hiburan, menurut Chandlee, Facebook tidak akan berhasil.
Chandlee mengatakan, saat ini, saingan TikTok tak hanya jejaring sosial seperti Instagram dan Facebook saja, tetapi juga platform live streaming dan marketplace, sebagaimana dihimpun dari CNBC, Jumat (17/6/2022).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bos TikTok Sebut Platformnya Bukan Media Sosial seperti Facebook", Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2022/06/17/15000027/bos-tiktok-sebut-platformnya-bukan-media-sosial-seperti-facebook?page=all#page2.