SonoraBangka.ID - Dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap di bank masih tinggi. Hal itu membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani jengkel.
Pada April 2022, dana Pemda yang mengendap di bank mencapai Rp 191,57 triliun. Sementara pada Mei 2022, dananya lebih tinggi lagi menembus Rp 200 triliun.
Menurut Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni, ada beberapa penyebab atau alasan Pemda menyimpan dana di bank. Salah satu alasannya adalah untuk mendapat bunga bank sebagai tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Ada indikasi lain penyebab belanja itu rendah, karena uang kas yang tersimpan di bank itu dimaksudkan untuk mendapatkan PAD, mendapatkan bunga perbankan," kata Agus dalam Rapat Koordinasi Percepatan Realisasi APBD di Jakarta, Senin (20/6/2022).
Agus menuturkan, fenomena ini perlu menjadi perhatian bersama. Pasalnya, belanja daerah perlu diakselerasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi di daerah setelah pandemi Covid-19.
"Ini perlu menjadi perhatian agar perekonomian tadi bisa segera diperbaiki, juga kondisi di daerah semakin membaik akibat pandemi Covid-19, agar anggaran ini tidak disimpan tetapi segera dibelanjakan," ucap Agus.
Agus menyebut, setidaknya ada 10 faktor yang menjadi penyebab belanja Pemda rendah. Selain menumpuk bunga bank, penyebab lainnya adalah pengadaan konstruksi cenderung lambat dan beberapa jenis belanja belum tercatat pada jurnal belanja.
Lalu, masih ada Pemda yang ragu dalam memulai kegiatan akibat perencanaan yang tidak matang.
"Kadang kala masih ada yang ragu kegiatan itu untuk dilaksanakan karena perencanaan yang tidak matang. Ada keragu-raguan apakah mau diteruskan atau mau dilakukan perubahan. Itu juga menyebabkan rendahnya realisasi belanja," sebut Agus.
Lalu, masalah berikutnya adalah kurang pahamnya aparat dalam penerapan regulasi di bidang pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Menurut Agus, kurangnya pemahaman ini bisa jadi disebabkan karena mutasi, atau kurangnya peningkatan kapasitas.
Oleh karena itu, pihaknya membuka help desk yang bisa dihubungi Pemda kapan saja untuk berkonsultasi secara online maupun offline. Konsultasi offline dilakukan dengan datang langsung ke Kantor Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri setiap hari Rabu.
"Kami setiap minggu juga melakukan webinar series Keuangan Daerah Update dan sudah memasuki yang ke-20. Ini kita gunakan untuk membahas regulasi terkini, kemudian kita informasi-informasi terkait keuangan daerah, membahas permasalahan oleh daerah sekaligus cari solusi," beber Agus.
Penyebab keterlambatan berikutnya adalah keterlambatan pelaksanaan lelang. Hingga Juni 2022, pihaknya masih melihat banyak daerah yang belum melakukan lelang.
"Padahal ini sudah Juni. Oleh karena itu, kita lakukan percepatan yang belum dilakukan lelang segera lelang, dan kemudian bahkan utk lelang tahun depan boleh bersiap-siap lelang di tahun ini sejak Juli atau Agustus," ungkap Agus.
Dilihat berdasarkan provinsi, DKI Jakarta menempati urutan pertama dengan dana mengendap Rp 7,85 triliun pada April 2022. Diikuti oleh Provinsi Aceh Rp 6,53 triliun, Provinsi Jawa Barat Rp 6,50 triliun, Provinsi Jawa Timur Rp 5,96 triliun, dan Provinsi Papua Rp 4,68 triliun.
"Karena ini adalah daerah-daerah dengan anggaran yang tinggi," ucap Agus.
Sedangkan berdasarkan kabupaten, dana yang mengendap terbesar yaitu Kabupaten Bojonegoro Rp 3,03 triliun, Kabupaten Bengkalis Rp 1,19 triliun, Kabupaten Kutai Timur Rp 1,128 triliun, Kabupaten Mimika Rp 1,12 triliun, dan Kabupaten Bekasi Rp 1,02 triliun.
Sementara untuk kota, yang terbesar adalah Kota Cimahi Rp 1,64 triliun, Kota Medan Rp 1,40 triliun, Kota Malang Rp 1,25 triliun, Kota Makassar Rp 1,09 triliun, dan Kota Depok.
Agus menjelaskan, dana yang tersimpan di bank tersebut adalah saldo simpanan yang didasarkan pada lokasi di mana bank itu berada.
"Artinya saldo simpanan Pemda di Bank pada suatu daerah bisa jadi tidak hanya dimiliki oleh pemda setempat, namun bisa kemungkinan Pemda lain yang buka rekening pada bank-bank daerah tersebut," jelas Agus.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyindir kinerja pemerintah daerah (Pemda) dalam memberikan arahan kepada Gubernur hingga Walikota beberapa waktu lalu.
Buntut kekesalannya masih sama, yakni soal pengelolaan anggaran daerah yang tidak tepat sasaran. Transfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD) yang sepertiga dari APBN, sebagian besar digunakan hanya untuk membayar gaji. Dana Pemda juga banyak menganggur di bank. Jumlahnya mencapai ratusan triliun.
Di sisi lain, Pemda kerap mengeluh kurang anggaran. Padahal TKDD sudah meningkat menjadi Rp 770 triliun dari Rp 450 triliun di tahun 2011.
"Kalau Bapak Ibu lihat belanja modal mengecil, anggarannya mau dinaikkan 2 kali lipat, kita enggak akan bisa mengejar ketertinggalan. Artinya Bapak Ibu harus menjaga komposisi belanja ini," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menghitung, dana Pemda yang menganggur di bank mencapai Rp 200 triliun. Angka ini lebih besar dibanding jumlah dana menganggur Rp 172 triliun pada Mei 2021. Begitu pun lebih besar dibanding Rp 165 triliun di posisi Mei 2020.
Fenomena ini lantas membuat Sri Mulyani heran. Pemda kerap meminta tambahan anggaran, namun masih banyak dana yang menganggur di bank. Di sisi lain, banyak warga yang membutuhkan pembangunan infrastruktur lewat dana tersebut.
"Bukan karena enggak ada uangnya, transfer kami ke daerah itu rutin. Memang ada beberapa persyaratan, tapi tetap daerah sekarang itu masih punya Rp 200 triliun di bank. Jadi ini, kan, menggambarkan ada ironis, ada resources, ada dananya, tapi enggak bisa dijalankan," kata Sri Mulyani.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bikin Sri Mulyani Jengkel, Ini Alasan Pemda Endapkan Dana di Bank", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2022/06/20/105316326/bikin-sri-mulyani-jengkel-ini-alasan-pemda-endapkan-dana-di-bank?page=all#page2.