SonoraBangka.id - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akan membahas lebih lanjut Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi undang-undang.
Dalam draf RUU tersebut ada usulan cuti melahirkan minimal enam bulan.
Hal ini memunculkan kekhawatiran dari masyarakat akan ada diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan.
“Efeknya mungkin perusahaan bakal mengutamakan rekrut karyawan laki-laki… yang wanita bakal lebih susah dapat kerjaan.. mudah-mudahan nggak sih,” tulis salah satu akun, di kolom komentar unggahan TikTok DPR, @DPRRI
“Tapi nanti perusahaan nyarinya laki-laki karena gamau rugi bayar gaji yg cuti. Maaf kalo aku pinter,” tulis akun lainnya. “
Nanti pengusaha ga mau rekrut karyawan perempuan, atau syarat rekrut untuk wanita harus belum menikah, atau tidak menikah selama terikat masa kerja,” tulis seorang pengguna.
"Agak kontra, kalo aku mikirnya perusahaan bakal jadi “agak” mikir kalau mau terima karyawan cewek. Normal yo 3/4 bulan aja.. kadang aja ad kantor yang ga rela karyawannya cuti nyampe 3 bulan, apalagi 6 bulan. ????," tulis warganet di Twitter, mengungkapkan keresahan yang sama.
Bagaimana tanggapan ahli mengenai usulan cuti melahirkan 6 bulan ini? Idealkah?
Tanggapan pengamat
Terkait usulan tersebut, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Gabriel Lele memberikan tanggapan.
Ia menilai pemerintah harus bisa mengelola dilema yang ada.
“Ada dilema yang harus dikelola pemerintah antara perlindungan perempuan atau ibu dengan produktivitas usaha,” ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/6/2022).
Gabriel mengingatkan, dari kacamata perlindungan perempuan, kebijakan ini bagus, tetapi harus pula diseimbangkan dengan kebutuhan industri.
“Jauh lebih baik jika pemerintah memberi waktu cuti 1 tahun, sehingga masa kosong itu bisa diisi tenaga yang lain dulu sebelum ibu melahirkan diaktifkan kembali,” kata Dia.
Namun, jika kebijakan cuti melahirkan 6 bulan tetap dijalankan, Gabriel menyarankan, untuk ibu melahirkan, harus ada skema subsidi atau proteksi selama cuti.
Kemudian, pengaturan di perusahaan supaya tidak ada diskriminasi ke depan, tetapi di saat yang sama bisnis tetap normal.
Selanjutnya, harus ada pengaturan agar tidak ada diskriminasi terhadap rekrutmen perempuan dengan ditegakkannya merit system.
Rekrutmen diutamakan berdasarkan kompetensinya.
Cuti melahirkan 6 bulan dalam RUU KIA
Dikutip dari Kompas.com, (16/6/2022), Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, RUU KIA bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul.
Ia menilai RUU KIA menitikberatkan pada masa pertumbuhan emas anak (golden age) yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak.
Masa ini sering terkait dengan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak.
Puan menegaskan, ibu wajib mendapat waktu yang cukup memberikan ASI bagi anak-anaknya, termasuk ibu yang bekerja.
"Ibu bekerja wajib mendapat waktu yang cukup untuk memerah ASI selama waktu kerja," katanya.
Dia menyebut, RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan.
Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam RUU KIA, cuti hamil berubah menjadi enam bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.
Namun, selain itu RUU KIA juga mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh dan mulai bulan ke-4 upah dibayarkan 70 persen.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cuti Melahirkan 6 Bulan, Mendiskriminasi Pekerja dan Pencari Kerja Perempuan?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/19/173000565/cuti-melahirkan-6-bulan-mendiskriminasi-pekerja-dan-pencari-kerja-perempuan?page=all.