SonoraBangka.id - Sepanjang 2023, telah terjadi delapan konflik negatif antara buaya dan manusia di Pulau Bangka.
Penyebab buaya menyerang manusia hingga memakan korban jiwa di Pulau Bangka diungkap oleh Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung dan Resor Konservasi Eksitu Wilayah XVII Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan.
Kasus terakhir yakni kejadian yang menimpa seorang anak asal Desa Baskara Bakti, Bangka Tengah.
Korban diterkam buaya ketika memancing bersama ayahnya di aliran Sungai Lempuyang.
Manager Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung, Endy R Yusuf mengatakan penambangan yang mencemari sungai menjadi faktor rusaknya habitat satwa liar.
"Akhir-akhir ini sering terjadi kasus (buaya vs manusia), padahal dari dulu buayanya ada, orang yang mancing juga banyak. Kalau ditanya penyebabnya, rusaknya aliran sungai kita yang jadi habitat buaya," jelas Endy R Yusuf saat dihubungi Bangkapos.com, Senin (2/10/2023).
Menurutnya, rusaknya habitat buaya berakibat pada terputusnya rantai makanan, yang pada akhirnya membuat reptil tersebut lebih agresif ketika berjumpa dengan manusia.
"Satwa liar itu, sebuas apapun seharusnya ketika bertemu manusia pasti menghindar. Karena mereka tau manusia bukan makanannya.
Lalu kenapa mereka menyerang? Karena makanan itu hilang, mau tidak mau mereka menerkam manusia yang ditemui," tegasnya.
Untuk itu, ia berharap agar masyarakat ikut menjaga setiap ekosistem satwa liar, agar tidak terjadi konflik dengan manusia yang bahkan bisa menimbulkan korban.
"Kami merasa, karena sering terjadinya konflik ini membuat warga justru menangkap buaya-buaya itu. Tapi tidak pernah memikirkan habitatnya. Padahal penyebab utamanya karena rumah mereka (buaya) rusak," tegasnya.
Lebih lanjut ia juga mengingatkan agar masyarakat lebih waspada ketika beraktivitas di daerah aliran sungai, terutama ketika menjelang malam hari pada masa musim kawin buaya seperti saat ini.
"Ini termasuk musim kawin, jadi buaya akan lebih agresif. Hindari juga kawasan habitat buaya ketika menjelang malam karena mereka nokturnal, jadi mereka lebih agresif saat malam," pungkasnya.
Enam Korban Meninggal Dunia
Kepala Resor Konservasi Eksitu Wilayah XVII BKSDA Sumatera Selatan, Ahmad Fadhli menyebutkan selama periode Januari-September 2023 konflik negatif antara buaya vs manusia sudah menyebabkan enam korban meninggal dunia.
"Di Pulau Bangka, Januari dan Juni ada dua kasus dalam satu bulan, sedangkan Maret, Mei, Juli, September masing-masing satu kasus," ujar Ahmad Fadhli, Senin (2/10/2023).
"Itu jelas meningkat, karena tahun 2022 hanya ada tiga korban jiwa dengan jumlah kasus 10 kali konflik negatif," jelasnya.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan, tingginya kasus itu tidak terlepas dari kondisi geografis Pulau Bangka yang mejadi habitat buaya jenis muara.
"Habitat utama mereka, atau buaya muara ini memang di sekitaran sungai-sungai hingga tepian laut atau muara. Itu kan banyak di sini, jadi kami meminta masyarakat untuk waspada," imbuhnya.
Untuk itu, BKSDA terus berkomunikasi dengan semua stakeholder untuk melakukan pencegahan sehingga konflik negatif itu bisa dihindari.
Ahmad Fadhli mengungkapkan, pencegahan itu mulai dari pemasangan spanduk himbauan di dekat titik lokasi yang rawan, sehingga agar masyarakat tidak beraktivitas di kawasan yang menjadi habitat buaya.
"Kemudian kita juga terus memberikan sosialisasi dan mengingatkan masyarakat tidak mencari ikan dengan metode setrum atau racun. Terus dihimbau tidak membuang isi perut dan sisa ikan di kawasan habitat buaya, karena itu merupakan pakan utama buaya," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Penyebab Buaya Menyerang Manusia hingga Memakan Korban Jiwa di Pulau Bangka, https://bangka.tribunnews.com/2023/10/02/penyebab-buaya-menyerang-manusia-hingga-memakan-korban-jiwa-di-pulau-bangka?page=all.