SONORABANGKA.ID - Adalah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa dampak emisi selama siklus hidup kendaraan sangat dipengaruhi oleh sumber energi listrik yang digunakan.
Emisi kendaraan listrik akan jauh lebih rendah, apabila energi listrik yang digunakan untuk proses produksi dan saat mengisi baterai berasal dari energi bersih yang ramah lingkungan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, mengatakan, dibutuhkan upaya untuk mengurangi dampak emisi dari BEV (Battery Electric Vehicle).
“Sehingga, harapannya dekarbonisasi sektor kelistrikan dapat membantu mengurangi penggunaan fase emisi pada BEV,” ujar Agus, dalam keterangan resmi, Jumat (14/10/2023).
Menperin memberikan perbandingan berdasarkan studi Polestar dan Rivian tahun 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik yang dilaporkan pada Polestar and Rivian Pathway Report (2023).
Agus mengatakan dalam studi tersebut selama siklus hidupnya, kendaraan listrik menghasilkan 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e), kendaraan listrik hybrid (HEV) sebesar 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) mencapai 55 tCO2e.
Untuk diketahui, Life Cycle Emissions menunjukan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus hidup kendaraan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal).
Tingginya Life Cycle Emissions kendaraan konvensional dan kendaraan listrik hybrid terutama berasal dari faktor emisi gas buang saat pemakaian (tailpipe emissions), masing-masing sebesar 32 tCO2e (57 persen) dan 24 tCO2e (51 persen).
Tapi, faktor produksi energi listrik bagi BEV maupun HEV masih menjadi faktor utama penghasil emisi terbesar, yaitu 26 tCO2e (66,7 persen).
Kemudian, jejak karbon juga terdapat pada produksi baterai kendaraan listrik BEV dan kendaraan listrik hybrid, masing-masing 5 tCO2e dan 1 tCO2e.