Heret berharap, pemerintah bisa mendorong proses konversi motor listrik menjadi satu kesatuan lewat satu pintu, tidak perlu setiap kementerian/instansi punya proses yang berbeda.
“Nah ini yang memang jadi tantangannya, itu perlu dipertimbangkan (penyatuan sistem). Kalau enggak dananya akan memberatkan pihak bengkel untuk menalangi dulu, atau konsumen harus menalangi dulu, dan prosesnya akan sangat lama,” kata Heret.
Serupa dengan hal tersebut, Tomy Huang, President Director PT Trimentari Niaga (BRT), mengatakan, hambatan konversi motor listrik sejauh ini berasal dari proses administrasi.
“Harapannya dengan tidak terlaksananya dengan baik tahun ini, jadi dikoreksi semua aturan-aturan yang menghambat,” ujar Tomy kepada Kompas.com (12/11/2023).
“Tapi sudah ada langkah koreksi, karena memang tahun pertama itu kebanyakan berjalan, ada hambatan, lalu diperbaiki. Di samping ada terobosan baru, yang menambah insentif jadi Rp 10 juta,” kata dia.
Menurut Tomy, masalah yang selanjutnya menghantui para pelaku konversi motor listrik adalah momentum pengumuman subsidi.
Di mana masyarakat sebetulnya cukup antusias dengan adanya konversi motor listrik, ditandai dengan angka pemesanan di BRT yang diklaim mencapai 300 unit.
“Contoh subsidi Rp 10 juta bagus, tapi kan maunya waktu diumumkan hari ini, ya berjalan hari ini. Tapi ini kan masalahnya belum diumumkan, berjalannya kapan kita enggak tahu,” kata Tomy.
“Jadi bukan cuma butuh Juknis, perlu mengubah Permen, revisi. (Apalagi) kalau Permen kan harus ada izin DPR. Misalkan gini, oh dapat Rp 10 juta ya, bulan ini ada 100 yang mau konversi, sudah daftar. Oh ternyata belum (cuma) Rp 7 juta. Problemnya selalu itu, konsumen harus nunggu lagi,” ujar dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hambatan Konversi Motor Listrik Bukan soal Insentif, melainkan Administratif", Klik untuk baca: https://otomotif.kompas.com/read/2023/11/13/082200915/hambatan-konversi-motor-listrik-bukan-soal-insentif-melainkan-administratif?page=all#page2.