Ilustrasi - Pembangkit listrik tenaga nuklir di Cattenom, Perancis bagian timur.
Ilustrasi - Pembangkit listrik tenaga nuklir di Cattenom, Perancis bagian timur. ( AFP/KOMPAS.COM )

Komisaris PLN Ngaku Banjir Pertanyaan Terkait Pembangunan PLTN Pertama Indonesia di Pulau Gelasa Babel

25 November 2023 08:23 WIB

Tidak mudah untuk menjawabnya. Perbedaan pendapat antar individu, organisasi bahkan negara selalu mewarnai perdebatan penggunaan energi nuklir. 

Masalah keamanan dari reaktor nuklir menjadi pertimbangan utama masyarakat apakah mereka mau menerima PLTN dibangun didaerahnya. Keamanan disini tidak terbatas pada sisi pengoperasiannya saja tapi juga dari kemungkinan terjadinya bencana alam yang diluar kontrol manusia. Atau juga bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri seperti perang. 

Sindrom NIMBY (Not In My BackYard) hampir selalu mengemuka jika ada rencana pembangunan PLTN di suatu negara. Penolakan warga agar PLTN tersebut tidak dibangun didaerahnya menjadi momok bagi pengembang PLTN

Penolakan ini mendapat legitimasi lebih kuat setelah melihat akibat yang timbul dari kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang tahun 2011 dan Chernobyl di Ukraina tahun 1986. 

Meskipun memiliki profil resiko (risk profile) yang tinggi, beberapa negara seperti Perancis justru masih nyaman menggunakan PLTN sebagai sumber energi mereka. Tapi tidak dengan Jerman yang mempensiunkan PLTN yang mereka punya.  

Di sinilah kita bicara tentang risk appetite atau risk tolerance (tingkat resiko yang akan diambil) yang mempengaruhi strategi energi sebuah negara. Bagi Perancis resiko menggunakan energi nuklir dapat dikelola dengan baik tapi tidak dengan Jerman. 

Apakah hanya faktor keamanan yang menjadi penyebab perselisihan tentang PLTN ini? Tentu saja tidak. Seperti yang selalu kami sampaikan dalam beberapa tulisan, sebuah project atau inisiatif bisa GO atau Not GO bergantung akan tiga hal. 
 
Pertama apakah inisiatif tersebut secara teknikal fisibel (technically feasible). Kedua apakah secara komersial layak (commercially viable) dan ketiga apakah secara politik bisa diterima (politically acceptable). 

Urutan dalam mengevaluasi sebuah proyek tidak boleh dilakukan secara acak. Harus dalam step yang teratur. Step satu harus dimulai dari aspek teknikal, kedua aspek komersial dan ketiga baru aspek politik. 
Step ini juga tidak boleh dibalik seperti aspek politik dikedepankan kemudian baru teknikal dan komersial. 

Dalam beberapa kasus, urutan yang terbalik ini menimbulkan banyak persoalan dikemudian hari karena aspek teknikal dan komersial jadi terabaikan.

Begitu juga dengan inisiatif pembangunan PLTN. Secara teknikal PLTN adalah proyek yang visible. Tapi bagaimana dengan aspek komersial? Mari kita liat beberapa contoh proyek pembangunan PLTN di Amerika Serikat.

Tahun 1976 negara bagian Georgia di AS membangun dua unit PLTN dengan kapasitas sekitar 1230 MW per unit dan diberi nama dengan PLTN Vogtle 1 dan 2. Pembangkit ini mulai beroperasi secara komersial tahun 1987 untuk Vogtle 1 dan tahun 1989 untuk Vogtle 2. Jadi secara rata-rata pembangunan PLTN membutuhkan waktu 12 tahun dari kontruksi sampai beroperasi secara komersial.

Bagaimana dengan biaya (sisi komersial). Capex atau investasi yang direncanakan sekitar USD 600 juta membengkak menjadi USD 8.87 milyar untuk Vogtle 1 dan 2 atau sekitar USD 3.6 juta per MW. Sebagai pembanding, Capex PLTU berkisar antara USD 1 juta sampai USD 1.5 juta per MW. Jadi kalau dari sisi Capex, PLTN tiga kali lebih mahal daripada PLTU.

Apakah adil membandingkan PLTN dan PLTU hanya dari sisi Capex? Tentu saja tidak. Dari sisi Opex terutama bahan bakar, PLTU lebih mahal karena membutuhkan suplai batubara yang terus menerus sementara PLTN tidak. Jadi yang harus dibandingkan adalah berapa LCOE (Levelized Cost of Energy) atau biaya energi yang diratakan yang memasukkan semua komponen biaya termasuk Capex dan Opex.

Kembali kepada PLTN yang dibangun di Georgia AS, tahun 2013 PLTN Vogtle melakukan ekspansi. Dua unit PLTN dengan kapasitas 2x1250 MW kembali dibangun dan diberi nama Vogtle 3 dan 4. PLTN Vogtle 3 mulai beroperasi secara komersial bulan Juli 2023 dan Vogtle 4 diperkirakan di awal tahun 2024. Jadi secara rata rata Vogtle 3 dan 4 dibangun dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Dilihat dari sisi komersial, PLTN Vogtle 3 dan 4 membutuhkan biaya investasi sekitar USD 34 mliyar atau USD 13.6 juta per MW. Dibandingkan dengan PLTN Vogtle 1 dan 2, PLTN Vogtle 3 dan 4 jauh lebih mahal. Dengan kata lain PLTN terbaru menghabiskan dana hampir 4 kali lipat dibandigkan generasi tahun 1970-an.

Banyak hal yang menyebabkan PLTN Vogtle 3 dan 4 mengalami cost overrun. Salah satunya adalah semakin ketatnya peraturan keamanan yang harus dipenuhi.

Apakah membengkaknya biaya dan keterlambatan penyelesaian proyek hanya terjadi di PLTN konvensional seperti di Georgia ini? 

Mari kita analisa teknologi terbaru untuk PLTN yang dinamakan dengan NuScale Small Modular Reactor (NuScale SMR). 

Negara bagian Utah AS berencana membangun PLTN NuScale SMR yang pertama di dunia. Bulan lalu proyek ini terpaksa dibatalkan, salah satunya karena LCOE yang mahal. Diperkirakan kalau tidak ada subsidi dari pemerintah maka biaya energi yang dibangkitkan sekitar USD 10.5 cents per kWh.

Semoga bermanfaat dan bisa jadi bahan diskusi bagi sahabat semua. Terima kasih.


Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul PLTN Pertama Indonesia Mau Dibangun di Pulau Gelasa Babel, Komisaris PLN Ngaku Banjir Pertanyaan, https://bangka.tribunnews.com/2023/11/24/pltn-pertama-indonesia-mau-dibangun-di-pulau-gelasa-babel-komisaris-pln-ngaku-banjir-pertanyaan?page=all.

SumberBangkapos.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm