SonoraBangka.id - Rencananya, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama Indonesia akan dibangun di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
PLTN berbasis thorium itu akan dibangun oleh PT Thorcon Power Indonesia.
Seberapa siap rencana PLTN pertama Indonesia ini dibangun?
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangka Tengah Me Hoa mengatakan masyarakat harus mendapatkan edukasi yang akurat agar dipahami mengenai wacana tersebut.
"Orang takut dengan keselamatan jiwa, maka itu dulu yang harus utama sehingga barometer untuk jaminan keselamatan itu yang harus dapat diterima masyarakat awam," ujar Me Hoa, Jumat (24/11/2023).
Dia mengatakan jika sudah ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai Proyek Strategis Nasional, maka daerah menyesuaikan dan persiapan perencanaan yang matang.
"Saat ini masih dalam proses persiapan. Tentunya pada akhirnya harus ada berbagai izin seperti AMDAL dari kementerian LHK, keselamatan nuklir oleh BAPETEN dan izin operasi PLTN oleh ESDM dan masih banyak lagi, termasuk persetujuan pemerintah pusat," katanya.
Dia menyakini pastinya pemerintah pusat sudah mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif sehingga DPRD Bangka Tengah yakin semua akan berjalan dengan lancar dan aman.
"Kemudian yang harus di ingat adalah Nuklir telah di tetapkan oleh pemerintah untuk masih dalam bauran energi untuk masuk menuju net zero emisi.
Saya melihat nuklir adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia yang juga visi bapak pendiri Bangsa Ir Soekarno sehingga adalah keniscayaan, bila tidak di Babel maka pasti terjadi di wilayah lain," lanjutnya.
Me Hoa menambahkan dengan Babel menjadi tuna rumah dibangunnya PLTT ini maka akan membuat Babel menjadi provinsi berbasis teknologi tinggi.
"Tentunya menjadi provinsi Pertama di Indonesia yang menjadi tuan rumah PLTT pertama merupakan kebanggaan dan akan membawa banyak manfaat yang dapat di jadikan momentum untuk merubah masa depan Babel dari yang bergantung kepada sumberdaya alam menjadi provinsi berbasis teknologi tinggi," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka Tengah sudah melakukan Penandatangan Kesepakatan Bersama dengan PT Thorcon Power Indonesia di Soll Marina Hotel Bangka Tengah, Senin (20/11/2023).
Kerjasama ini dalam mendukung penyediaan pelayanan publik yang bergerak di bidang energi baru berbasis teknologi molten salt reaktor (TMSR500).
Direktur Operasi Thorcon Power Indonesia, Bob S Effendi berharap mendapat dukungan dalam memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
"Saat ini kita melakukan persiapan belum proyek, masih banyak kajian yang harus dilakukan, karena nuklir, banyak informasi yang simpang siur kurang akurat, kami juga sudah sosialisasi dengan pak Pj Gubernur, Bupati, Bapeten dan ESDM.
Kita harus bisa memastikan juga masyarakat terdekat itu menerima manfaat dari proyek ini kedepannya, baik itu pekerjaan dan CSR," kata
Sementara itu, Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman akan mendukung dalam akselerasi ke tahap berikutnya.
Dalam hal ini, pemerintah kabupaten Bangka Tengah berperan sebagai mitra pendamping dalam pembangunan PLTT ini.
"Kami menjadi sahabat untuk meraih cita-cita itu, kami juga merasa ini penting, ke depan Bapeten juga memberikan gambaran ke kami tentang study kelayakan agar ini bisa berjalan," katanya.
Algafry berharap masyarakat dapat menerima informasi yang akurat mengenai PLTT ini.
"Ini baru kajian, tahapan dan proses, masyarakat akan mengetahui keberadaan itu, sudah diberikan gambaran, apapun yang dilakukan oleh PT Thorcon sudah melalui kajian dari Bapeten, sehingga apa pun kondisi tentu melalui kajian yang matang," katanya.
Sementara itu, di tengah kabar rencana pembangunan PLTN ini, Komisaris Independen PT PLN (Persero), Archandra Tahar membuat postingan di akun Instagramnya tentang aspek teknikal dan komersial PLTN.
Archandra memang tak menyebut langsung secara spesifik mengenai konteks PLTN dalam postingannya.
Ia hanya memberikan gambaran secara umum.
Namun, postingan ini dibuat di tengah rencana PLTN di Pulau Gelasa, Provinsi Kepulauan Babel.
Archandra mengaku banyak mendapatkan pertanyaan tentang PLTN.
Dikutip dari akun Instagram yang bercentang biru itu, mantan Menteri ESDM ini menyinggung sejumlah PLTN yang sudah berdiri di beberapa negara, mulai dari Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat.
Berikut tulisan lengkap postingan Archandra Tahar yang dibuatnya pada Kamis (23/11/2023) kemarin:
Apakah PLTN Lebih Efisien dan Aman? Kita Pelajari Aspek Teknikal dan Komersialnya
Sahabat yang budiman,
Dari beberapa tulisan yang kami sampaikan melalui IG dan FB, banyak sekali pembaca yang bertanya dan juga berpendapat tentang Pembangkit Tenaga Nuklir (PLTN). Pertanyaan berkisar tentang apakah energi nuklir bisa menjadi alternatif untuk menggantikan energi fosil menuju net zero emission tahun 2050 atau 2060.
Tidak mudah untuk menjawabnya. Perbedaan pendapat antar individu, organisasi bahkan negara selalu mewarnai perdebatan penggunaan energi nuklir.
Masalah keamanan dari reaktor nuklir menjadi pertimbangan utama masyarakat apakah mereka mau menerima PLTN dibangun didaerahnya. Keamanan disini tidak terbatas pada sisi pengoperasiannya saja tapi juga dari kemungkinan terjadinya bencana alam yang diluar kontrol manusia. Atau juga bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri seperti perang.
Sindrom NIMBY (Not In My BackYard) hampir selalu mengemuka jika ada rencana pembangunan PLTN di suatu negara. Penolakan warga agar PLTN tersebut tidak dibangun didaerahnya menjadi momok bagi pengembang PLTN.
Penolakan ini mendapat legitimasi lebih kuat setelah melihat akibat yang timbul dari kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang tahun 2011 dan Chernobyl di Ukraina tahun 1986.
Meskipun memiliki profil resiko (risk profile) yang tinggi, beberapa negara seperti Perancis justru masih nyaman menggunakan PLTN sebagai sumber energi mereka. Tapi tidak dengan Jerman yang mempensiunkan PLTN yang mereka punya.
Di sinilah kita bicara tentang risk appetite atau risk tolerance (tingkat resiko yang akan diambil) yang mempengaruhi strategi energi sebuah negara. Bagi Perancis resiko menggunakan energi nuklir dapat dikelola dengan baik tapi tidak dengan Jerman.
Apakah hanya faktor keamanan yang menjadi penyebab perselisihan tentang PLTN ini? Tentu saja tidak. Seperti yang selalu kami sampaikan dalam beberapa tulisan, sebuah project atau inisiatif bisa GO atau Not GO bergantung akan tiga hal.
Pertama apakah inisiatif tersebut secara teknikal fisibel (technically feasible). Kedua apakah secara komersial layak (commercially viable) dan ketiga apakah secara politik bisa diterima (politically acceptable).
Urutan dalam mengevaluasi sebuah proyek tidak boleh dilakukan secara acak. Harus dalam step yang teratur. Step satu harus dimulai dari aspek teknikal, kedua aspek komersial dan ketiga baru aspek politik.
Step ini juga tidak boleh dibalik seperti aspek politik dikedepankan kemudian baru teknikal dan komersial.
Dalam beberapa kasus, urutan yang terbalik ini menimbulkan banyak persoalan dikemudian hari karena aspek teknikal dan komersial jadi terabaikan.
Begitu juga dengan inisiatif pembangunan PLTN. Secara teknikal PLTN adalah proyek yang visible. Tapi bagaimana dengan aspek komersial? Mari kita liat beberapa contoh proyek pembangunan PLTN di Amerika Serikat.
Tahun 1976 negara bagian Georgia di AS membangun dua unit PLTN dengan kapasitas sekitar 1230 MW per unit dan diberi nama dengan PLTN Vogtle 1 dan 2. Pembangkit ini mulai beroperasi secara komersial tahun 1987 untuk Vogtle 1 dan tahun 1989 untuk Vogtle 2. Jadi secara rata-rata pembangunan PLTN membutuhkan waktu 12 tahun dari kontruksi sampai beroperasi secara komersial.
Bagaimana dengan biaya (sisi komersial). Capex atau investasi yang direncanakan sekitar USD 600 juta membengkak menjadi USD 8.87 milyar untuk Vogtle 1 dan 2 atau sekitar USD 3.6 juta per MW. Sebagai pembanding, Capex PLTU berkisar antara USD 1 juta sampai USD 1.5 juta per MW. Jadi kalau dari sisi Capex, PLTN tiga kali lebih mahal daripada PLTU.
Apakah adil membandingkan PLTN dan PLTU hanya dari sisi Capex? Tentu saja tidak. Dari sisi Opex terutama bahan bakar, PLTU lebih mahal karena membutuhkan suplai batubara yang terus menerus sementara PLTN tidak. Jadi yang harus dibandingkan adalah berapa LCOE (Levelized Cost of Energy) atau biaya energi yang diratakan yang memasukkan semua komponen biaya termasuk Capex dan Opex.
Kembali kepada PLTN yang dibangun di Georgia AS, tahun 2013 PLTN Vogtle melakukan ekspansi. Dua unit PLTN dengan kapasitas 2x1250 MW kembali dibangun dan diberi nama Vogtle 3 dan 4. PLTN Vogtle 3 mulai beroperasi secara komersial bulan Juli 2023 dan Vogtle 4 diperkirakan di awal tahun 2024. Jadi secara rata rata Vogtle 3 dan 4 dibangun dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Dilihat dari sisi komersial, PLTN Vogtle 3 dan 4 membutuhkan biaya investasi sekitar USD 34 mliyar atau USD 13.6 juta per MW. Dibandingkan dengan PLTN Vogtle 1 dan 2, PLTN Vogtle 3 dan 4 jauh lebih mahal. Dengan kata lain PLTN terbaru menghabiskan dana hampir 4 kali lipat dibandigkan generasi tahun 1970-an.
Banyak hal yang menyebabkan PLTN Vogtle 3 dan 4 mengalami cost overrun. Salah satunya adalah semakin ketatnya peraturan keamanan yang harus dipenuhi.
Apakah membengkaknya biaya dan keterlambatan penyelesaian proyek hanya terjadi di PLTN konvensional seperti di Georgia ini?
Mari kita analisa teknologi terbaru untuk PLTN yang dinamakan dengan NuScale Small Modular Reactor (NuScale SMR).
Negara bagian Utah AS berencana membangun PLTN NuScale SMR yang pertama di dunia. Bulan lalu proyek ini terpaksa dibatalkan, salah satunya karena LCOE yang mahal. Diperkirakan kalau tidak ada subsidi dari pemerintah maka biaya energi yang dibangkitkan sekitar USD 10.5 cents per kWh.
Semoga bermanfaat dan bisa jadi bahan diskusi bagi sahabat semua. Terima kasih.
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul PLTN Pertama Indonesia Mau Dibangun di Pulau Gelasa Babel, Komisaris PLN Ngaku Banjir Pertanyaan, https://bangka.tribunnews.com/2023/11/24/pltn-pertama-indonesia-mau-dibangun-di-pulau-gelasa-babel-komisaris-pln-ngaku-banjir-pertanyaan?page=all.