"Pabrik semen itu heavy intensive machinery, ditambah kondisi lingkungan yang ekstrem dan butuh fokus tinggi."
"Bias yang muncul seringnya berasal dari kekhawatiran, apakah seorang perempuan mampu mengatasi situasi tersebut?” sebutnya.
Bukan argumentasi untuk menuntut kesetaraan gender, namun Reni menjawab tantangan tersebut dengan kinerja terbaik.
Ia ingin membuktikan bahwa kemampuannya tak kalah dengan gender lainnya. Pelan-pelan ia beroleh pengakuan tersebut, tanpa harus berkoar-koar minta diperlakukan sama.
Lebih jauh Reni mengatakan, menjadi direktur operasi sebuah perusahaan sebesar SIG tidak pernah terlintas di benaknya.
Akan tetapi, bila bicara soal ini, ia punya pengalaman menarik ketika menjalani program talent development.
“Coach saya bertanya begini, ‘What is your career aspiration? Medium term goal? Long term goal? What will you do to achieve that?"
"Jangankan membayangkan atau bermimpi, bahkan saya tidak pernah berpikir mendalam saat menjawab pertanyaan tersebut,” kenangnya.
Dan, jawaban yang ia lontarkan ketika itu lebih dalam rangka segera menyelesaikan sesi career coaching .
“Saya selalu menjawab medium term career aspiration saya menjadi kepala pabrik, longer term aspiration saya menjadi manufacturing director."
"Karena saya selalu men- declare demikian, mungkin secara tidak sadar saya melakukan langkah-langkah menuju ke sana. Sehingga begitu kesempatan itu tiba saya dinilai sebagai kandidat yang sudah ready,” aku Reni.
Reni menilai, SIG dan BUMN lainnya saat ini telah memberikan kesempatan berkembang yang sama bagi perempuan maupun laki-laki.
Hal ini adalah respons atas business need bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu cara untuk mendongkrak kinerja, karena dari sana akan timbul semangat saling melengkapi.
Oleh karena itu, untuk kaum perempuan Reni punya saran, “Di dunia kerja yang berbasis merit, sebaiknya lebih fokus pada kompetensi, kualifikasi, kinerja atau profesionalisme.”
Artikel ini telah terbit di https://www.kabarbumn.com/lipsus/114424626/direktur-operasi-sig-reni-wulandari-jawab-bias-gender-dengan-profesionalisme?page=3