Namun, membangun citra tubuh untuk jadi positif bukanlah pekerjaan mudah, terutama jika kita terbiasa menerima penghinaan tersebut sejak kecil.
“Setiap perilaku bully akan meninggalkan jejak di memori. Dan, itu tidak mudah untuk dilupakan. Jadi, lebih baik untuk memperkuat mental diri sendiri,” jelas Dr. Andreas Kurniawan, psikiater di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta.
Jangan Dikasih Spotlight
Wajar rasanya, kita marah dengan pelaku body shamming.
Tapi, menurut Andreas, jika pelaku diberikan “panggung” maka ia akan semakin senang, karena ia berhasil mendapat perhatian dari si korban.
“Kalau kita bicara perilaku, pelaku itu akan senang saat korbannya reactive, misalnya korban marah, nangis, lapor ke orang-orang. Nah, reaksi ini menjadi feedback positive ke pelakunya,” jelas Andreas.
Oleh karena itu, Andreas menyarankan untuk tidak memberikan apa yang diinginkan oleh pelaku.
Misalnya, seseorang berkomentar buruk pada bentuk tubuh Anda sampai membuat Anda ingin marah dan menumpahkannya pada si pelaku.
Amarah yang ditunjukkan oleh Anda tersebut, merupakan emosi yang diinginkan oleh si pelaku. “Jadi, diemin saja, anggap itu enggak ada. Tapi, kalau di-bully secara fisik, itu kita boleh melawan,” pungkasnya.
Meski begitu, jika pelaku bully melakukan tindakan body shaming terhadap Anda di publik, lebih baik Anda menegurnya secara diam-diam, sehingga dia tidak memiliki ruang untuk menjadi spotlight di publik.