Ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti kesibukan yang berlebihan, masalah kesehatan mental, atau karena orang tua tidak memahami kebutuhan anak secara emosional.
Anak-anak yang dibesarkan dalam pola asuh seperti ini sering kali merasa tidak dicintai, tidak berharga, dan tidak diperhatikan.
Trauma yang dihasilkan dari pola asuh abai dapat sangat dalam. Anak-anak mungkin merasa kesepian, terisolasi, dan memiliki masalah dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Mereka juga berisiko mengalami masalah kepercayaan, kecemasan, dan depresi ketika tumbuh dewasa.
Orang tua harus berusaha untuk lebih hadir dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun emosional.
Berkomunikasi secara terbuka, mendengarkan kebutuhan anak, dan menunjukkan kasih sayang adalah langkah penting untuk mencegah trauma akibat pengabaian.
Meskipun niat dari orang tua yang terlalu protektif adalah untuk melindungi anak dari bahaya, pola asuh ini dapat merugikan anak dalam jangka panjang.
Orang tua yang terlalu protektif cenderung tidak memberikan anak kesempatan untuk belajar dari kesalahan, mengambil risiko, atau menghadapi tantangan sendiri.
Mereka selalu berusaha mengendalikan setiap aspek kehidupan anak dengan harapan dapat melindungi mereka dari kekecewaan atau kesulitan.
Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua yang terlalu protektif sering kali merasa tidak percaya diri, cemas, dan takut mengambil keputusan.
Mereka mungkin merasa tidak mampu mengatasi masalah tanpa bantuan orang lain, yang akhirnya dapat menghambat kemandirian mereka.
Hal ini bisa menciptakan trauma berupa perasaan tidak kompeten atau tidak mampu berfungsi tanpa dukungan orang tua.
Sebagai solusi, orang tua perlu memberi anak kesempatan untuk belajar menghadapi tantangan sendiri, meskipun dalam batasan yang aman.
Orang tua bisa memberikan dukungan tanpa mengambil alih, sehingga anak dapat mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian.
Ketidakkonsistenan dalam pola asuh, di mana aturan dan batasan sering berubah tanpa alasan yang jelas, bisa sangat membingungkan bagi anak.
Misalnya, ketika orang tua kadang-kadang bersikap lembut dan di lain waktu sangat tegas tanpa penjelasan, anak-anak bisa merasa bingung dan tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka.
Ketidakpastian ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan pada anak, karena mereka tidak tahu bagaimana cara bersikap atau berperilaku untuk menyenangkan orang tua.
Trauma emosional dapat terjadi ketika anak merasa terus-menerus berada dalam ketidakpastian dan ketakutan akan reaksi orang tua.
Untuk menghindari trauma ini, penting bagi orang tua untuk menerapkan pola asuh yang konsisten.
Aturan dan batasan harus jelas dan diterapkan secara adil. Anak-anak membutuhkan stabilitas dan kepastian agar dapat tumbuh dengan rasa aman dan percaya diri.
Pola asuh yang tidak sehat dapat berdampak buruk pada perkembangan emosional anak dan menimbulkan trauma yang terbawa hingga dewasa.
Penting bagi orang tua untuk memahami dampak dari pola asuh yang otoriter, permisif, abai, terlalu protektif, dan tidak konsisten.
Nah, dengan mengenali kesalahan-kesalahan ini, orang tua bisa berusaha untuk menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan mendukung bagi anak-anak mereka, sehingga mereka dapat tumbuh dengan rasa percaya diri, kemandirian, dan kesejahteraan emosional yang sehat.
Artikel ini telah terbit di https://nakita.grid.id/read/024160342/pola-asuh-yang-bisa-menimbulkan-trauma-pada-anak-termasuk-overprotektif?page=all