SonoraBangka.id - #KaburAjaDulu: Pengkhianatan atau Langkah Strategis? Kisah “Anak Rel Kereta” yang Menolak Menyerah Hingga Bisa Kuliah di Universitas Top 1 Asia NUS
Tagar #KaburAjaDulu tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Banyak orang, terutama anak muda, merasa terbebani oleh kondisi sulit dalam negeri—mulai dari persaingan kerja hingga biaya hidup yang kian menanjak—sehingga tergoda untuk “mencari jalan” ke luar. Namun, di balik kesan “melarikan diri,” ada pula sisi lain yang menekankan potensi pulang dengan membawa pengalaman dan wawasan baru untuk membangun Indonesia.
Saya sendiri tumbuh di lingkungan yang sederhana, persis di pinggir rel kereta api, dan ikut membantu keluarga menjual susu kedelai, telur puyuh rebus, serta tahu goreng—tidak hanya di sekitar rumah, tapi juga di sekolah tempat saya menimba ilmu. Meskipun kondisi ekonomi terbatas, tekad saya untuk berkembang sangat kuat. “Kabur” untuk sementara demi meraih pendidikan dan pengalaman berbeda adalah langkah yang saya ambil, namun bukan berarti saya kehilangan rasa cinta pada Tanah Air.
MAKNA #KABURAJADULU
Di satu sisi, #KaburAjaDulu mencerminkan kekecewaan terhadap berbagai tantangan yang dihadapi generasi muda Indonesia. Di sisi lain, tren ini bisa kita artikan sebagai motivasi untuk berani keluar dari zona nyaman dan belajar sesuatu yang baru di tempat lain. Ketika menempuh pengalaman di luar, sering kali kita menemukan keterampilan, teknologi, ataupun sudut pandang yang belum banyak diadopsi di Indonesia. Nantinya, semua itu bisa dibawa pulang dan diimplementasikan di sini.
PENGALAMAN PRIBADI
Saya pernah berada di titik bimbang, bertanya-tanya apakah “keluar” dari Indonesia adalah keputusan tepat. Namun, setelah merenung, saya menyadari bahwa merantau bukan sekadar soal meninggalkan kampung halaman. Bagi saya, ini adalah cara untuk mengasah kemampuan, memperluas jaringan, dan mempelajari metode kerja yang lebih efektif.
Langkah itu tentu membutuhkan persiapan. Selain harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tantangan seperti biaya hidup dan persaingan ketat kerap menguras tenaga dan pikiran. Di sinilah mentalitas tangguh dibutuhkan. Sering kali saya harus pandai membagi waktu antara bekerja sambilan, memperdalam keterampilan, serta menjalin relasi profesional yang nantinya bisa bermanfaat.
“KABUR” SEBAGAI BENTUK INVESTASI DIRI
Ada anggapan bahwa orang yang merantau ke luar negeri menjadi kurang nasionalis. Padahal, kebalikannya bisa terjadi. Ketika berada di luar, kita justru sering merasa rindu terhadap budaya Indonesia, dan keinginan untuk berkontribusi pada negeri sendiri semakin menguat. Langkah “kabur” sementara dapat menjadi dorongan untuk pulang dengan kompetensi yang lebih mumpuni.