oleh Imam Zulfian,
Analis Yunior, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Di era digital seperti sekarang, transaksi digital telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, perkembangan transaksi digital telah mengalami kemajuan yang pesat.
Salah satu contoh adalah penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang telah menjadi metode pembayaran yang populer. Sepanjang tahun 2024, tercatat volume transaksi QRIS tumbuh sebesar 175,2% year-on-year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih spesifik di Bangka Belitung, transaksi QRIS juga tumbuh akseleratif dengan angka pertumbuhan mencapai 164,24% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan bahwa QRIS semakin diminati masyarakat Indonesia sebagai kanal pembayaran non tunai.
Di era digital, risiko keamanan siber telah menjadi ancaman yang nyata. Serangan siber dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti phishing, malware, dan ransomware. Menurut data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pada tahun 2022 tercatat 370,02 juta serangan siber terhadap Indonesia.
Lebih spesifik, BSSN mencatat bahwa serangan ransomware sebanyak 97.226 kasus terdeteksi pada tahun 2023. Selain itu, serangan phishing juga tercatat sebanyak 97.465 kasus terdeteksi pada tahun yang sama.
Data ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap serangan siber di Asia Tenggara.
Transaksi QRIS memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi dengan mudah dan cepat, hanya dengan memindai kode QR.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan oleh transaksi digital, terdapat juga tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan yang paling signifikan adalah resiko keamanan siber.