2. Mengapa wanita lebih rentan
Wanita memang sangat rentan terhadap sindrom imposter.
Hal ini karena pengaruh norma sosial dan budaya, serta harapan yang membentuk cara berpikir dan bertindak pada perempuan.
"Begitu banyak wanita muda yang diajarkan untuk lebih dilihat bukan didengar, tidak membual tentang pencapaian kita demi menjaga perasaan orang, dan memvalidasi nilai-nilai eksternal ketimbang mencarinya dalam diri kita sendiri," katanya.
3. Tidak semua imposter sama
Sindrom ini memiliki fase yang berbeda, dan tidak umum bagi wanita untuk mengalami fase yang bersamaan pada tahap kehidupan mereka.
Misalnya, kecenderungan untuk terlalu banyak mendapatkan informasi dan menunda-nunda cenderung memengaruhi karier wanita.
Terkadang, hal itu bisa bermanifestasi sebagai emosi yang menyabotase diri untuk merasa tidak cukup baik.
Terkadang ketika sudah di posisi senior pun, perasaan tidak cukup baik itu masih membayangi.
Menurut Parekh, hal itu membuat seseorang terus mencari validasi eksternal.
4. Akar dari sindrom imposter
Seperti kebanyakan perilaku disfungsional, pola negatif biasanya berakar dari masa kanak-kanak seseorang.
Melihat masa lalu juga bisa menjadi solusi dan ketika dilakukan dengan benar dapat secara permanen membawa perubahan yang positif.
"Saya selalu mengingatkan klien saya, bahwa ketika mereka merasa diri sangat rendah dan negatif, bayangkan diri mereka di masa kecil," sarannya.
"Di saat itu kita akan merasakan menjadi seseorang yang tidak perlu melakukan sesuatu untuk mendapat pujian dari luar," sambung dia.
Mengatasi sindrom imposter secara rutin dapat melawan pikiran negatif dan membuat perasaan ini tidak faktual.
Sehingga, tidak ada lagi yang menghalangi pencapaian kita.
5. Menghadapi sindrom imposter