SonoraBangka.id - Saat ini, doxing menjadi istilah yang sedang viral dibahas oleh warganet terkait dengan kasus Rachel Vennya.
Tetapi, kita juga harus mewaspadai praktik kejahatan dunia digital ini agar tak menjadi korban.
Doxing adalah perbuatan menyebarkan informasi pribadi seseorang di internet tanpa izin.
Bentuknya bisa berupa foto, alamat rumah, nomor ponsel sampai data personal lainnya.
Dikutip dari riset berjudul "Peningkatan Serangan Doxing dan Tantangan Perlindungannya di Indonesia" oleh SafeNet, istilah ini berasal dari kata dropping dan documents.
Mulai digunakan satu dekade silam akibat banyaknya tindakan peretasan yang dilakukan oleh hacker.
Namun, kini tindakan itu bisa lebih mudah dilakukan karena difasilitasi adanya teknologi digital terbaru.
Kasus yang banyak terjadi, doxing dilakukan dengan sengaja untuk meneror seseorang.
Misalnya saja oknum debt collector yang sengaja mempermalukan nasabahnya dengan menyebarkan data pribadinya di internet.
Perilaku ini bukan tindakan acak namun sengaja diniatkan dengan target tertentu.
Pelakunya menggunakan berbagai metode termasuk sumber berita, media sosial, aplikasi yang di-install di ponsel, bahkan hingga situs pemerintah.
Secara umum, ada tiga jenis doxing yakni deanonimisasi, penargetan, dan deligitimasi.
Setiap jenis memiliki metode yang berbeda meski tujuannya serupa. Bagi sebagian orang, hal ini diremehkan hanya sebagai membuka data pribadi ke publik.
Padahal efeknya sangat serius termasuk memicu terjadinya kejahatan digital yang lebih parah.
Korban bisa dijadikan objek perisakan oleh publik dan menjadi sasaran teror.
Selain itu, data pribadi ini juga bisa dipakai untuk peretasan akun perbankan, kartu kredit, phising, dan kejahatan lainnya.
Karena itu, kita dianjurkan agar bisa melindungi diri dari doxing agar tak terjebak sebagai korbannya.
Apa yang harus dilakukan saat jadi korban doxing?
Doxing adalah jenis perilaku ilegal yang relatif baru bagi sebagian besar orang.
Banyak yang kebingungan harus melakukan apa ketika menyadari menjadi korbannya.
Karena tidak mendapatkan pertolongan yang tepat, efeknya bisa merujuk hal yang lebih buruk.
Wisnu M Adiputra, pakar komunikasi digital dari Universitas Gadjah Mada menyarankan segera melapor ke polisi jika merasa menjadi korban tindakan ini.
"Mestinya negara lewat aparat hukum melindungi informasi privat warga utk dilindungi," kata dia kepada Kompas.com, Senin (31/05/2021).
Hal tersebut bisa menjadi pelanggaran di ranah UU ITE meski tidak tertera secara jelas. Karena itu dibutuhkan RUU Perlindungan Data Pribadi untuk menjamin data warga negara.
Selain itu, korban bisa mencari dukungan pada lembaga masyarakat sipil yang peduli pada isu ini misalnya saja SafeNet.
Tujuannya, untuk mencari bantuan menyelesaikan masalah tersebut.
Terkait kecenderungan doxing sebagai pembalasan bagi haters yang mungkin dilakukan oleh selebgram, ia berpendapat masih perlu pembahasan lebih jauh.
"Karena definisi komentar jahat juga bisa multitafsir. Jadi bisa jadi komentar biasa akan dilabel komentar jahat," tambah dia.
Menurut dia, sejauh ini informasi dalam komentar yg melanggar hukum adalah hoaks dan ujaran kebencian.
Jadi memang dibutuhkan pemaparan jelas khususnya untuk masyarakat Indonesia yang taraf literasi digitalnya belum baik.
Di sisi lain, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM ini menyarankan warganet untuk berkomentar secara etis di media sosial.
Tujuannya agar memicu perilaku doxing dari pihak lain.
Dia mengatakan, bahwa bila tetap dianggap sebagai komentar jahat, bisa minta maaf.
Memang, sejauh ini hak menyampaikan opini dan berekspresi dilindungi oleh konstitusi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Doxing, Istilah yang Ramai Dibahas Warganet", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/05/31/160000320/mengenal-doxing-istilah-yang-ramai-dibahas-warganet?page=all.