Namun demikian, ia siap menyelesaikannya secara hukum agar semua pihak mendapatkan hasil yang adil.
Terlebih, menurutnya, hal ini melibatkan fitnah yang menggunakan namanya.
Alasan butuh waktu lama untuk speak up
Pemilik akun @quweenjojo mengaku mengalami pelecehan seksual pada Agustus 2018 lalu.
Namun ia baru berani mengumpulkan keberanian untuk speak up pada 2021, nyaris tiga tahun setelahnya.
Rentang waktu ini jelas sangat panjang, membuktikan stigma bahwa korban pelecehan selalu kesulitan untuk bicara soal pengalaman buruknya.
Akun @quweenjojo juga mengaku pernah mencoba bicara ke publik soal kasusnya lewat Instagram namun mendapatkan respon yang mengecewakan.
Beberapa kenalannya bahkan menyalahkan pembawaannya yang dianggap terlalu 'hot'.
Pola tersebut kerap ditemui dalam sejumlah kasus pelecehan seksual yang terkuak ke publik.
Korban cenderung disudutkan dengan pakaian, perilaku, gaya hidup atau aspek lain yang tidak relevan.
Pengakuan yang merujuk pada peristiwa yang sudah cukup lama juga rentang dituding tidak benar dan sekedar fitnah belaka.
Banyak yang mempertanyakan, jika hal itu benar-benar terjadi maka apa alasannya untuk tidak segera melaporkannya ke pihak berwajib.
Menanggapi hal ini, Yolanda Moses, profesor antropologi di University of California punya pendapat yang jelas.
"Hanya karena korban tidak segera melapor tentang kekerasan seksual bukan berarti tuduhan itu tidak benar," ujarnya.
Korban kerap disalahkan
Masyarakat cenderung menyalahkan korban, khususnya perempuan, sehingga banyak yang ragu mengakui pengalamannya.
Seringkali korban dituduh melakukan fitnah untuk merusak hidup dan reputasi pria yang melakukan pelecehan.
Contoh seperti ini menunjukkan bahwa masih ada sifat yang tidak seimbang dalam masyarakat kita dan bahwa perempuan direndahkan, kata Moses.