SonoraBangka.ID-
Atas nama tradisi, sebanyak lebih dari 1400 lumba-lumba bersisi putih dibantai di Kepulauan Faroe pada, Minggu (12/9/2021) lalu.
Ribuan tubuh mamalia laut tersebut yang masih bersimbah darah tersebut dibiarkan berjejer di sepanjang pantai usai perburuan massal tersebut.
Nggak pelak, aksi ini pun memicu protes dari para konservasionis dan juga penduduk setempat. The Sea Shepherd Conservation Society bahkan menggambarkan peristiwa ini sebagai sebuah pembantaian.
Namun gimana, sih, asalnya tradisi perburuan lumba-lumba ini?
Mengutip Live Science, perburuan lumba-lumba adalah tradisi kuno di Kepulauan Faroe—sebuah wilayah otonomi Denmark yang terletak di antara Norwegia, Skotlandia, dan Islandia.
Perburuan ini adalah satu-satunya praktik perburuan yang masih dilakukan di Eropa Barat.
Biasanya, daging lumba-lumba kemudian akan dibagikan untuk membantu memberi makan masyarakat setempat. Namun beberapa pihak khawatir, bahwa tangkapan tahun ini terlalu banyak untuk sekitar 53.000 penduduk kepulauan tersebut.
"Perburuan ini terjadi pada 2021 di komunitas pulau Eropa yang sangat kaya dan hanya 370 kilometer jaraknya dari Inggris, sangat keterlaluan," jelas Rob Read, Chief Operating Officer Sea Shepherd Inggris dalam sebuah pernyataan.
Menurut penduduk setempat, pemburu tampak nggak memedulikan jumlah lumba-lumba yang mereka buru. Hal ini menurut Olafur Sjurdarber, Ketua Asosiasi Pemburu Ikan Paus Faroese merupakan sebuah kesalahan besar.
Bjarni Mikkelsen, seorang ahli biologi kelautan Faroese, mengatakan itu adalah pembunuhan terbesar dalam sejarah yang tercatat dalam 'the grind'. Rekor sebelumnya yang ditetapkan adalah pada 1940 di mana ada 1.200 paus pilot yang dibunuh.
Sementara menurut pemerintah Kepulauan Faroe, rata-rata setahun perburuan membawa sekitar 600 paus pilot dan 250 lumba-lumba bersisi putih.
Perburuan lumba-lumba sendiri, di Kepulauan Faroe merupakan hal yang legal meski memerlukan izin dari otoritas setempat.
Namun kecaman besar-besaran di media sosial seluruh dunia, termasuk seruan untuk memboikot ekspor Kepulauan Faroe, seperti salmon membuat para pendukung perburuan ini khawatir tradisi turun-temurun tersebut bakal lenyap. (*)