“Belum lagi kemarin harga minyak goreng sampai Rp20 ribu, gas juga naik untung kita semakin tipis. Belum lagi beli gas subsidi harus antre di SPBU, kalau di agen enggak pernah kebagian,” ujarnya.
Oleh karenanya kini dirinya juga tengah memikirkan penyesuaian harga jual kuliner yang dikelolanya, yang mau tidak mau mesti diubah harga jualnya.
“Enggak pas lah sebenarnya harga gas non subsidi tiba-tiba naik seperti ini. Kalau bisa naik jangan terlalu tinggi lah, kita juga sudah susah harga apa-apa naik,”ucapnya.
Hal berbeda justru dikatakan Ino (28). Sejak harga gas elpiji non subsidi naik dia lebih memang tidak memilih untuk beralih menggunakan tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram.
Walaupun harganya lebih murah karena bersubsidi, ia berpikir masih banyak masyarakat kurang mampu yang membutuhkan gas melon tersebut. “Walaupun naik enggak papa lah, karena masyarakat lain masih banyak yang butuh gas subsidi,” kata Ino.
Ino menyarankan, di tengah harga komoditas maupun gas non subsidi yang melejit masyarakat yang biasanya menggunakan tabung gas elpiji ukuran 5,5 maupun 12 kilogram untuk tak beralih ke gas melon.
Pasalnya tabung gas tersebut diperuntukkan pemerintah bagi masyarakat dengan kondisi perekonomian yang kelas ke bawah. “Setidaknya masyarakat malah jangan ganti pakai gas 3 kilogram, kasihan masyarakat yang memang benar-benar butuh,”ucapnya.
Meski begitu, dia berharap pemerintah dapat memberikan solusi perihal kenaikan isi ulang gas elpiji non subsidi. Ia menyarankan pemerintah, kembali menyesuaikan harga gas sehingga tidak membebani masyarakat yang memiliki usaha di bidang kuliner.
“Boleh naik, tapi jangan ngejut tiba-tiba naik Rp20 ribu. Kalaupun bisa bertahap lah, kasihan dengan masyarakat yang memang usaha di bidang kuliner,”tambahnya.
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Gas Elpiji Non Subsidi Naik, Pedagang Kuliner Nilai Tak Dukung UMKM , https://bangka.tribunnews.com/2022/02/02/gas-elpiji-non-subsidi-naik-pedagang-kuliner-nilai-tak-dukung-umkm?page=2.