SONORABANGKA.ID - Naiknya harga liquefied petroleum gas (LPG) non subsidi di Pangkalpinang, membuat sejumlah masyarakat beralih menggunakan elpiji melon ukuran 3 kilogram.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Adi (56, Warga Kelurahan Sinarbulan, Kecamatan Bukitintan. Dia yang memiliki usaha kuliner di Pasar Malam terpaksa harus memutar otak guna menutupi harga gas elpiji non subsidi yang naik.
Semula bapak empat orang anak ini berjualan menggunakan tabung bright gas ukuran 12 kilogram,tetapi sejak harga isi ulang naik ia beralih menggunakan tabung gas 3 kilogram.
“Terpaksa pakai tabung gas 3 kilogram, karena yang non subsidi naik tidak sesuai dengan pengeluaran,” ujar dia kepada Bangkapos.com, Rabu (2/2/2022).
Dalam mengais rezeki kata Adi, memang dirinya tak pernah lepas dalam penggunaan gas elpiji. Bahkan untuk menekan pengeluaran modal untuk berdagang dia harus menggunakan tabung 3 kilogram yang bersubsidi.
Hal itu untuk mengurangi biaya pengeluaran untuk membeli isi ulang tabung gas, yang mana gas melon di agen dijual sekitar Rp18 ribu per tabung.
“Saya jualan sosis dan segala macam, kompor kan harus tetap menyala. Ya, dengan ganti ini setidaknya bisa mengurangi modal. Walaupun kadang enggak beli di agen harganya Rp25 ribu per tabung,"terang Adi.
Dia menilai, kebijakan menaikkan harga gas elpiji non subsidi saat ini sangat tidak mendukung para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di bidang kuliner, untuk dapat bangkit kembali.
Padahal hampir setahun lebih dilanda Pandemi Covid-19 dirinya tak bisa berjualan karena adanya pembatasan kegiatan di kampung-kampung.
Belum lagi mengingat bahwa kenaikan harga beberapa waktu lalu juga dialami oleh beberapa komoditas lain seperti minyak goreng. Alasan itu lah yang membuatnya semakin menjerit.
“Belum lagi kemarin harga minyak goreng sampai Rp20 ribu, gas juga naik untung kita semakin tipis. Belum lagi beli gas subsidi harus antre di SPBU, kalau di agen enggak pernah kebagian,” ujarnya.
Oleh karenanya kini dirinya juga tengah memikirkan penyesuaian harga jual kuliner yang dikelolanya, yang mau tidak mau mesti diubah harga jualnya.
“Enggak pas lah sebenarnya harga gas non subsidi tiba-tiba naik seperti ini. Kalau bisa naik jangan terlalu tinggi lah, kita juga sudah susah harga apa-apa naik,”ucapnya.
Hal berbeda justru dikatakan Ino (28). Sejak harga gas elpiji non subsidi naik dia lebih memang tidak memilih untuk beralih menggunakan tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram.
Walaupun harganya lebih murah karena bersubsidi, ia berpikir masih banyak masyarakat kurang mampu yang membutuhkan gas melon tersebut. “Walaupun naik enggak papa lah, karena masyarakat lain masih banyak yang butuh gas subsidi,” kata Ino.
Ino menyarankan, di tengah harga komoditas maupun gas non subsidi yang melejit masyarakat yang biasanya menggunakan tabung gas elpiji ukuran 5,5 maupun 12 kilogram untuk tak beralih ke gas melon.
Pasalnya tabung gas tersebut diperuntukkan pemerintah bagi masyarakat dengan kondisi perekonomian yang kelas ke bawah. “Setidaknya masyarakat malah jangan ganti pakai gas 3 kilogram, kasihan masyarakat yang memang benar-benar butuh,”ucapnya.
Meski begitu, dia berharap pemerintah dapat memberikan solusi perihal kenaikan isi ulang gas elpiji non subsidi. Ia menyarankan pemerintah, kembali menyesuaikan harga gas sehingga tidak membebani masyarakat yang memiliki usaha di bidang kuliner.
“Boleh naik, tapi jangan ngejut tiba-tiba naik Rp20 ribu. Kalaupun bisa bertahap lah, kasihan dengan masyarakat yang memang usaha di bidang kuliner,”tambahnya.
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Gas Elpiji Non Subsidi Naik, Pedagang Kuliner Nilai Tak Dukung UMKM , https://bangka.tribunnews.com/2022/02/02/gas-elpiji-non-subsidi-naik-pedagang-kuliner-nilai-tak-dukung-umkm?page=2.