Dok. Perayaan Tradisi Ceng Beng tahun 2019
Dok. Perayaan Tradisi Ceng Beng tahun 2019 ( Sonorabangka.id/ Zulhaidir)

Peringatan Tradisi Ceng Beng, Jadi Momentum Kenang Para Leluhur

5 April 2022 21:26 WIB

SONORABANGKA.ID - Sejumlah warga keturunan Tionghoa di Bangka Belitung tampak berkumpul untuk menggelar tradisi Ceng Beng, di Pemakaman Yayasan Sentosa, Semabung, Pangkalpinang, Senin (4/4/2022) pagi.

Seperti diketahui, Ceng Beng merupakan tradisi bersih-bersih makam leluhur dan tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi makam leluhur atau kerabat.

Sehingga, tak heran jika Pemakaman Yayasan Sentosa, Pangkalpinang yang merupakan pemakaman Tionghoa terbesar di Asia Tenggara ini tampak ramai dikunjungi masyarakat.

 

Beberapa warga yang datang pun terlihat berpakaian khusus. Satu orang mengenakan baju identik dengan warna merah dan bertopi, ada juga yang berpakaian batik lengkap dengan maskernya dan warga lainnya memakai pakaian biasa.

Pusara makam dihiasi nyala lilin, dupa, bahkan buah dan makanan tersaji di makam para pendahulu. Tampak pula orang-orang membersihkan kubur dan mendekorasi nisan dengan bunga-bunga hidup.

Sejak pagi, para peziarah sudah tiba di makam dengan menata sajian untuk leluhur. Sajian itu berupa nasi serta samsang atau daging hewan tiga alam yang berasal dari laut, darat, dan udara. Ada juga lauk pauk, buah-buahan, dan kue sebagai simbol pelayanan terhadap leluhur.

Sesekali, mereka meletakkan satu per satu kertas di pusara makam leluhurnya yang disebut Kim ci. Kim ci adalah kertas sembahyang dan uang-uangan berbahan kertas yang dibakar untuk membekali para arwah di alam baja menurut kepercayaan.

Afad (45) satu di antara peziarah mengatakan, kunjungan ke Pemakaman Yayasan Sentosa dalam rangka untuk bersembahyang serta menghormati para leluhur yang telah tiada.

"Kebetulan Ceng Beng ini kan perayaannya sekali dalam setahun. Jadi kalau dalam Tionghoa itu kita harus menghormati pendahulu yang lebih dulu berpulang dengan cara membersihkan kuburnya dan sembahyang," tuturnya.

 
Selain mengenang dan memuliakan orang tua atau leluhur yang sudah meninggal dunia, lanjutnya, tradisi ini juga sebagai sarana berkumpulnya saudara, kerabat, dan anak-anak para warga keturunan, meskipun sudah berbeda agama dan keyakinan.

Pengelola harian Pemakaman Yayasan Sentosa, Feny (48) mengatakan, masyarakat Tionghoa mulai berkunjung ke pemakaman sejak 22 Maret 2022 lalu.

"Masyarakat mulai sembahyang itu ke pemakaman dari tanggal 22 kemarin itu sudah mulai ramai, dan besok itu puncaknya karena terakhir," ujarnya.

Menurutnya, pengunjung yang sembahyang mengalami peningkatan dari dua tahun sebelumnya. Tahun ini meningkat cukup banyak sebab kasus Covid-19 berangsur menurun.

"Kalau dua tahun sebelumnya itu kan Covid-19 ya, jadi tidak seramai sekarang. Kalau sekarang cukup ramai, karena yang dari luar kota itu juga pada ke sini untuk sembahyang," imbuh Fery.

Puncak Ceng Beng jatuh pada setiap 5 April. Akan tetapi masyarakat keturunan Tionghoa sudah menyambut sekitar dua pekan sebelumnya. Ini karena prosesi tradisi tersebut tidak hanya sekedar berdoa namun juga membersihkan dan mempercantik makam leluhurnya.

Wujud Penghormatan kepada Leluhur

Terpisah Dato' Akhmad Elvian, DPMP , Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan, mengatakan, pelaksanaan Ceng Beng di Bangka Belitung merupakan wujud penghormatan atau bakti (hau) orang Tionghoa Bangka terhadap leluhur dan wujud kecintaan terhadap tanah air atau tanah kelahiran.

"Mereka yang merantau di seluruh penjuru dunia kembali ke Bangka menunjukkan tanda bakti dan hormat kepada leluhurnya yang dimakamkan di 8 wilayah pintu tempat kedatangan orang Tionghoa ke Bangka yang disebut dengan Pat Kong Mun yaitu, Buntuk atau Mentok, Nampong atau Jebus, Belijong atau Belinyu, Liat kong atau Sungaliat, Liu Sak atau Baturusa-Merawang, Pin Kong atau Pangkalpinang, Komuk atau Koba dan Sabang atau Toboali,' jelasnya.

Selanjutnya,  leluhur orang Tionghoa ada di Pulau Bangka sebab sejak masa kesultanan Palembang Darussalam masa Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo, orang Tionghoa sudah didatangkan secara resmi ke pulau Bangka (Tahun 1724-1757).

Kemudian, kebijakan mendatangkan orang Tionghoa ke Bangka sebagai pekerja tambang dilanjutkan pada masa kekuasaan Inggris di Pulau Bangka (Tahun 1812-1816) dilanjutkan pada masa Hindia Belanda sejak Tahun 1816 Masehi hingga akhir abad 19 Masehi.

Lelaki yang juga menjabat sebagai Seketaris Dewan DPRD Kota Pangkalpinang itu mengatakan, Ceng Beng secara harafiah bermakna bersih dan terang, Ceng bermakna bersih, biasanya 15 hari sebelum puncak Ceng Beng masyarakat Tionghoa Bangka mulai membersihkan makam leluhurnya.

"Pada saat tanggal 4 dan 5 April sebelum beng atau terang matahari, mereka melakukan sembahyang kubur dengan menyalakan lilin, hio atau gaharu, membakar uang akhirat atau Kimci, mengidangkan arak merah atau Ciu dan teh serta menghidangkan sam sang yaitu tiga jenis daging, sam kuo atau tiga jenis buah buahan atau caichoi bagi yang vegetarian," tambahnya.

Menurut dia, perbedaan agama dan keyakinan yang dianut dalam satu keluarga besar bukan suatu penghalang untuk berkumpul dan bersilaturahmi saat perayaan Ceng Beng.

"Justru melalui tradisi itu mereka dipersatukan. Bahkan keluarga, saudara, dan kerabat yang dari luar negeri juga sering menyempatkan diri pulang memuliakan leluhurnya saat digelar Ceng Beng," ujarnya.

Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Tradisi Ceng Beng, Momentum Tingkatkan Silaturahmi dan Mengenang Para Leluhur

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm