Kawan Puan, UU ini pun mengatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan, termasuk di dalamnya pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Pada Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan pidana pemaksaan perkawinan meliputi setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan.
Pelaku pemaksaan perkawinan ini bisa terancam pidana paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
5. Pelaku tidak hanya dikenai pidana dan denda
Pasal 11 dalam UU ini dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan pidana denda, pelaku TPKS dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
Restitusi sendiri adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga.
Hal ini berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
6. Korporasi yang melakukan TPKS bisa dikenai pidana dan denda
Pasal 13 menjelaskan bahwa pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp2 miliar.
Tak hanya itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
7. Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa
Nah, Pasal 20 UU ini menyatakan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1 alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni:
8. Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan
Pasal 24 dalam UU ini disebutkan, korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
Jika pelaku tidak mampu membayar Restitusi, maka pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
9. Korban TPKS akan didampingi
Pasal 27 sampai Pasal 29 menyebutkan korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga penyedia layanan.
Lembaga pelayanan nantinya wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian.
10. Tidak ada restorative justice
UU ini juga menegaskan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan pendekatan restorative justice.
Nah, pendekatan ini sendiri merupakan penyelesaian suatu perkara dengan menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.
Artikel ini telah terbit di https://www.parapuan.co/read/533234259/wajib-diketahui-ini-10-poin-penting-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=all