Dalam arti tidak melakukan jual beli baju bekas impor dari luar. Ia pun menyambut positif kebijakan pemerintah untuk melarang adanya impor baju bekas yang masuk ke Tanah Air.
"Ketika ada impor pakaian bekas yang kita terima, berarti itu kan ada juga yang tidak laku. Berarti kita harus mengirimnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau ke landfil. Jadi itu malah justru bisa membebani kita sebagai negara," ujar Aretha lagi.
Di sisi lain Aretha berujar bahwa kebanyakan pakaian menggunakan material yang dicampur plastik, yang mana akan lebih lama terdegradasi oleh lingkungan.
Indonesia sendiri masih kesulitan dalam mengelola limbah pakaian domestik, maka jika ada impor baju bekas yang berakhir di TPA justru akan menghadirkan masalah lingkungan baru bagi kita.
"Karena itulah, kalau baju bekas impor yang di-open dumped di TPA, akan semakin memenuhi TPA itu sendiri. Menumpuk dan terus menumpuk. Artinya akan jadi gunung sampah yang setinggi 20-30 meter," ujar Aretha mengingatkan.
Penting untuk dipahami bahwa saat ini teknologi TPA di Indonesia sendiri belum optimal dalam mengelola limbah pakaian. Sehingga dengan adanya baju bekas impor yang masuk ke Indonesia akan semakin membebani kita dalam mengelola limbah pakaian atau fashion waste.
Maka Aretha pun berharap industri thrifting lebih fokus pada pasar domestik atau jual beli baju bekas dari produk lokal saja.
Di sisi lain, ia juga berharap akan ada institusi yang bisa mengelola industri thrifting secara lebih profesional dan terorganisir di Indonesia. "Seperti di Jepang atau Amerika Serikat, ini (thrift shop) menjadi potensi yang besar untuk bisa mengurangi sampah pakaian," tambah Aretha lagi.
Industri Fashion Lokal Lebih Kompetitif
Apa yang disampaikan oleh Aretha tentang besarnya industri jual beli pakaian bekas di negara maju yang berdampak positif pada keberlanjutan lingkungan, juga dilihat oleh Franka Soeria, pengamat mode dan pendiri Markamarie.