Saat diwawancarai oleh PARAPUAN, Franka menilai bahwa industri thrifting di berbagai negara sangat berkembang pesat, termasuk di Indonesia, namun ada perbedaan yang signifikan.
"Kalau di US (Amerika Serikat) itu kan mayoritas tuh memang produk secondhand yang ada dari negara sendiri, jadi bukan diimpor. Sementara di sini memang fenomenanya kebanyakan adalah imported," ujar Franka.
Di dalam negeri sendiri, biasanya para pelaku usaha thrifting di Indonesia akan menjual kembali baju-baju bekas impor tersebut dalam paket-paket usaha dengan harga yang sangat murah.
Sehingga tak heran jika baju bekas impor ini memang menarik bagi konsumen yang mencari pakaian murah saja.
"Sehingga jadinya, memang brand lokal jadi agak susah bersaing. Jadi kalau kita perhatiin, kalau baju thrifting branded yang secara detail juga bagus, sementara dengan harga yang sama brand lokal walau sudah pakai bahan yang sama, orang lebih memilih membeli baju bekas branded," papar Franka.
Menurutnya, hal ini dapat mengancam brand fashion lokal. Dengan kata lain, industri mode lokal bukan hanya bersaing dengan produk dari Cina saja, tapi juga baju bekas impor.
Maka tak heran jika Franka juga sejalan dengan apa yang diharapkan oleh Aretha agar para pelaku usaha thrifting untuk fokus memperjualbelikan baju bekas dari brand lokal.
Menurutnya, cara ini bisa membuat sebuah baju memiliki usia pakai yang lebih panjang, tapi di satu sisi juga tidak menyakiti siapapun karena memutarkan pasar produk lokal.
"(Cara ini) sustainable-nya tetap jalan, tapi juga tidak mau mengancam ekonomi siapa-siapa, karena pada dasarnya masih banyak orang yang tidak masalah pakai baju bekas. Because sometimes keunikannya thrifting itu kan you can find unique atau vintage pieces yang tidak dijual, ada bagian fun tersendiri dari (industri) ini," ujar Franka lagi.
Berdasarkan pengamatan PARAPUAN, memang masih jarang pelaku usaha thrifting yang menawarkan pakaian bekas dari brand lokal. Kebanyakan masih menempatkan baju bekas dari brand luar negeri atau luxury brand sebagai primadona jualan para pelaku usaha thrifting.
Maklum saja, kini masih banyak masyarakat yang menganggap mengenakan pakaian dari luar negeri terasa lebih 'membanggakan' dibandingkan baju dari brand lokal.
Kendati demikian, Franka justru optimis bahwa industri thrifting lokal akan menjadi besar dan lebih dinamis di masa depan. Misal saja, bukan hanya bergantung pada jual beli baju bekas saja, tapi juga sebagian pelaku usaha thrifting juga akan lebih kreatif dalam menjajakan produk mereka.
Seperti menerapkan upcycling pada produk-produk yang mereka jual, sehingga menjadi lebih baru, unik dan punya nilai jual lebih tinggi.
"Karena sekarang tren itu udah enggak ngaruh, sekarang tuh lebih ke 'personal style' yang mana orang ingin tampil unik. Dengan kata lain kreativitas seseorang tuh bisa membantu suatu produk punya umur pakai yang lebih panjang. Upcycling is a big future," papar Franka yang percaya bahwa produk upcycle akan memberikan nilai ekonomi lebih pada sebuah 'baju bekas'.
Tak hanya kepada para pelaku usaha thrifting, Franka juga berharap akan semakin banyak brand fashion lokal yang juga merilis koleksi upcycle.
Atau mendorong para brand fashion untuk menggelar kampanye yang mengajak konsumennya masing-masing untuk mendonasikan pakaian bekas yang tak ingin dipakainya atau menawarkan jasa upcycle.
"Kita (pelaku usaha fashion) harus produce responsibly. Kita harus memproduksi sesuatu dengan ngecek dulu baju kita bisa tahan lama atau enggak.
Sayangnya kadang brand lokal maunya jual harus murah, tapi kadang harus kompromi sama kualitas.
Contoh kancingnya gampang copot, restleting rusak, atau kainnya baru sekali pakai dicuci langsung mengkerut. Akhirnya mereka jadi contribute to fashion pollution," ujar Franka mengingatkan.
Dalam menerapkan sustainable fashion, Franka percaya bahwa tidak harus selalu menerapkan sesuatu yang rumit. Misalnya saja tak selalu harus menggunakan pewarna alam atau material yang ramah lingkungan.
"Padahal salah satu langkah mudahnya adalah bikin aja baju yang bagus, long lasting, timeless, yang emang kepake. Justru baju yang aneh, only one time kita pake, kita malu untuk make lagi, that's part of pollution basically," tambahnya.
Dari apa yang dipaparkan oleh Aretha dan Franka, bisa dipahami bahwa di tengah upaya untuk meminimalisir limbah pakaian, industri thrifting bisa jadi penyelamat kerusakan lingkungan.
Namun ternyata itu saja tidaklah cukup. Perlu juga ada perubahan mindset yang mana kita perlu mendukung industri thrifting dari pasar domestik, sekaligus memilih pakaian yang sekiranya memiliki usia pakai yang panjang.
Bahkan keduanya juga setuju bahwa kebiasaan 'upcycling', bisa turut berkontribusi untuk mengurangi semakin menggunungnya limbah pakaian.
Termasuk memiliki potensi bisnis yang menguntungkan di masa depan, sekaligus sebagai langkah kecil menyelamatkan lingkungan.
Artikel ini telah terbit di https://www.parapuan.co/read/533448323/impor-baju-bekas-dilarang-apa-dampaknya-bagi-lingkungan-dan-bisnis-thrifting-di-masa-depan?page=all