Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober 2022, Kamis (20/10/2022).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober 2022, Kamis (20/10/2022). ( YouTube Bank Indonesia)

Risiko Resesi Meningkat di Tahun Depan, BI Cermati 5 Tantangan Global Ini

21 Oktober 2022 16:35 WIB

SonoraBangka.ID - Bank Indonesia (BI) mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global di tahun depan yang diprediksi masih penuh dengan tantangan.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan setidaknya ada 5 hal yang perlu dicermati agar meningkatkan kewaspadaan untuk mengamankan ekonomi dalam negeri.

"Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan tentu saja penuh dengan tantangan. BI melihat ada tidaknya 5 yang perlu kita cermati," ujarnya saat konferensi pers, Kamis (20/10/2022).

1. Perlambatan ekonomi global

Perry mengatakan, BI melihat pertumbuhan ekonomi global di tahun depan akan lebih melambat dibanding tahun ini.

"BI memperkirakan ekonomi global tahun ini 3 persen dan tahun depan 2,6 persen dengan risiko ke bawah," kata Perry.

Hal tersebut lantaran berbagai negara maju mengamai perlambatan ekonomi dan pengetatan moneter yang kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia.

Dia bilang, perlambatan ekonomi ini utamanya akan terjadi di Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan pertumbuhan ekonominta hanya tumbuh 1,2 persen di 2023. Melambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan masih tumbuh 2,5 persen.

Kemudian Eropa juga hanya tumbuh 0,7 persen di 2023 serta negara-negara maju lain seperti Tiongkok.

2. Inflasi global tinggi

Perry menyebut, inflasi global diperkirakan akan melonjak dari inflasi tahun ini yang diperkirakan sebesar 9,2 persen. Inflasi global ini disumbang oleh negara-negara maju maupun berkembang di mana inflasi yang terjadi di negara berkembang akan lebih tinggi.

"8,2 persen di Amerika, 9,2 persen di Eropa dan juga bahkan sangat tinggi di negara negara emerging market (berkembang) seperti Brazil, Turki, Argentina maupun yang lain-lain," ucapnya.

Inflasi yang tinggi ini merupakan imbas dari ketegangan geopolitik, fragmentasi ekonomi dan perdagangan, serta masih berlanjutnya gangguan mata rantai perdagangan global.

Ketegangan geopolitik yang dimaksud tidak hanya yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saja, tetapi juga ketegangan antara AS dan Tiongkok.

"Ini tentu menyebabkan pertumbuhan ekonomi global yang menurun dan gangguan mata rantai tadi, juga menyebabkan inflasi yang tinggi," kata dia.

3. Kenaikan suku bunga yang agresif

Dengan kenaikan inflasi yang tinggi tersebut, bank sentral negara-negara yang terkena tentu akan memitigasinya melalui kenaikan suku bunga acuan yang agresif agar inflasi dapat lebih terkendali.

Misalnya seperti yang saat ini terjadi di AS dengan inflasi yang mencapai 8,2 persen, bank sentral AS (The Fed) telah 5 kali menaikkan suku bunga acuannya sepanjang 2022 dengan total kenaikan 300 basis poin atau 3 persen.

Bahkan BI memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4,5 persen dan tren kenaikan masih dapat terjadi di tahun depan menjadi 4,75 persen sehingga suku bunga acuan AS mencapai level tertingginya.

"Demikian juga kenaikan suku bunga terjadi di Eropa," tambah Perry.

Dia melanjutkan, padahal kenaikan suku bunga acuan ini belum tentu dapat langsung menurunkan inflasi di negara-negara maju tersebut. Pasalnya, penyebab inflasi mereka tidak hanya disebabkan oleh permintaan tapi juga dari sisi pasokan.

"Inilah yang muncul risiko-risiko stagflasi, stagnansi inflasi, stagnansi pertumbuhan dan inflasi yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara termasuk juga probabilitas Amerika Serikat memasuki resesi itu juga meningkat, terakhir angkanya adalah 50 persen lebih tinggi dari perkiraan perkiraan sebelumnya," jelasnya.

4. Penguatan dollar AS

Efek dari kenaikan suku bunga acuan AS tersebut akan berimbas ke penguatan nilai tukar dollar AS yang sangat kuat sehingga mata uang lainnya menjadi terdepresiasi.

Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai tertinggi 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,10 persen (ytd) selama 2022.

"Penguatan apresiasi nilai tukar yang sangat kuat, bahkan kalau dihitung dari tengah tahun lalu, penguatan dollar AS itu lebih tinggi dari 20 persen, hampir mencapai 25 persen. Ini menyebabkan pelemahan mata uang dunia termasuk juga tekanan-tekanan di emerging market di Indonesia," ucapnya.

5. Risiko dari perspeksi investor

Dengan adanya tantangan-tantangan ekonomi global tersebut, tentu akan mempengaruhi persepsi investor. Kondisi yang serba tidak pasti ini akan menuntun investor untuk menarik dananya dari emerging market.

Investor cenderung akan menarik dananya di investasi portofolio dan menumpuknya di dalam tunai.

Itulah kelima hal yang dicermati oleh BI untuk kemudian dapat diantisipasi agar tidak terlalu bepengaruh pada perekonomian nasional.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Risiko Resesi Meningkat di Tahun Depan, BI Cermati 5 Tantangan Global Ini", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2022/10/21/101500926/risiko-resesi-meningkat-di-tahun-depan-bi-cermati-5-tantangan-global-ini?page=all#page2.

SumberKOMPAS.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm