SonoraBangka.id - Menyambut bulan suci ramadhan dan Idul Fitri masyarakat Provinsi Bangka Belitung, khususnya di Desa Mancung Kabupaten Bangka Barat merayakan tradisi istimewa yakni tradisi gerbang api atau tujuh likur.
Tradisi ini sebagai simbol masyarakat yang bahu membahu menyalakan kegembiraan menyambut ramadhan dan idul fitri.
Gerbang api tujuh likur dibangun menggunakan kayu di sepanjang ruas Jalan Arang Kayu, Desa Mancung.
Api yang menyala berasal dari sumbu ratusan botol minuman dengan bahan bakar minyak tanah.
Berbagai desain hasil kreasi warga menambah semarak suasana.
Ada yang berbentuk bangunan masjid, mahkota bunga, doraemon, hingga lumba-lumba.
Kepala Desa Mancung, Herlizon, mengatakan, festival api tujuh likur merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap tahun. Kali ini ada enam gerbang yang dibuat warga, sesuai jumlah enam RT di desa tersebut.
"Maknanya ini sebagai malam penyambutan Lailatul Qadar yang hanya ada saat hari-hari terakhir Ramadhan," ujarnya seperti dikutip dari kompas.com
Menariknya, setiap gerbang api tujuh likur yang dibuat warga, diberi penilaian.
Hasil karya terbaik mendapatkan penghargaan dan hadiah dari pemerintahan desa.
Kemeriahan kegiatan tersebut berhasil menarik kunjungan dari warga desa sekitarnya.
Para pengunjung mengabadikannya dengan selfie maupun swafoto.
Selain api yang menyala dari gerbang tujuh likur, setiap halaman rumah juga dipasangi api lampu minyak secara berjejer.
Tradisi gerbang api tujuh likur di Desa Mancung bukanlah satu-satunya tradisi unik dalam menyambut Ramadan dan Idul Fitri di Bangka Belitung.
Ada berbagai macam tradisi yang digelar oleh masyarakat setempat untuk merayakan momen suci tersebut.
Salah satu tradisi yang paling populer adalah tradisi "Berbaris Berlampu".
Tradisi "Berbaris Berlampu" dilaksanakan pada malam takbiran di desa-desa di Bangka Belitung.
Warga desa akan membawa lampion dan berbaris di jalanan desa, menyalakan lampion tersebut sambil berjalan.
Suasana menjadi semakin meriah dengan hiasan-hiasan lampion yang menarik di atas kepala masing-masing warga.
Tradisi Menghayutkan Telur
Selain itu, ada juga tradisi "Menghanyutkan Telur" atau biasa disebut "Upacara Telur" yang dilaksanakan oleh masyarakat Bangka Belitung.
Upacara ini biasanya dilakukan pada malam takbiran di bulan Ramadan atau pada malam Idul Fitri.
Tradisi menghayutkan telur ini dilakukan dengan cara menggantungkan telur di ujung tali, kemudian diayunkan dan ditabrakkan dengan telur yang dipegang oleh orang lain.
Yang menarik, telur yang digunakan bukanlah telur biasa, melainkan telur ayam kampung yang telah direbus dengan pewarna alami.
Pewarnaan ini dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan seperti daun ketapang, kayu secang, dan kulit manggis.
Menurut kepercayaan masyarakat Bangka Belitung, tradisi ini berasal dari zaman dahulu kala, di mana pada saat itu masyarakat melakukan perayaan dengan cara menggantungkan telur dan mengayunkannya.
Hal ini dilakukan sebagai tanda syukur atas rezeki yang diberikan selama tahun yang lalu dan sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadan.
Selain itu, tradisi menghayutkan telur juga memiliki makna simbolis dalam kehidupan sehari-hari.
Telur yang keras dan tidak mudah pecah melambangkan ketahanan, kesabaran, dan keuletan dalam menghadapi cobaan hidup.
Kegiatan ini juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial antarwarga di lingkungan sekitar.
Meskipun tradisi ini tidak terlalu banyak dipraktikkan di kota-kota besar, namun di daerah pedesaan di Bangka Belitung masih banyak masyarakat yang mempraktikkannya.
Sementara itu, tradisi menghayutkan telur di Bangka Belitung merupakan salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan dan terus dijaga keberadaannya agar tidak hilang ditelan zaman.
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Mengenal Tradisi Gerbang Api dan Menghayutkan Telur di Desa Mancung Sambut Ramadhan Dan Idul Fitri, https://bangka.tribunnews.com/2023/04/17/mengenal-tradisi-gerbang-api-dan-menghayutkan-telur-di-desa-mancung-sambut-ramadhan-dan-idul-fitri?page=all.