Bahlil menjelaskan, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel telah berdampak baik bagi perekonomian Indonesia. Hal ini tercermin dari hasil ekspor produk nikel yang sudah diolah di dalam negeri.
Pada 2017-2018, nilai ekspor Indonesia untuk produk nikel hanya berkisar 3,3 miliar dollar AS. Namun dengan diterapkannya kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada awal 2020, nilai ekspor produk nikel yang sudah di olah melonjak menjadi 30 miliar dollar AS pada 2022.
"Jadi dengan kita melakukan hilirisasi, itu penciptaaan nilai tambahnya sangat tinggi sekali di negara kita," kata Bahlil.
Sebelumnya, melalui dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, lembaga itu meminta pemerintah RI untuk mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Dalam dokumen itu disebutkan, Direktur Eksekutif IMF menyadari, Indonesia tengah fokus melakukan hilirisasi pada berbagai komoditas mentah seperti nikel. Langkah ini dinilai selaras dengan ambisi Tanah Air untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas ekspor.
"Menarik investasi asing langsung dan memfasilitasi transfer keahlian dan teknologi," tulis dokumen tersebut, dikutip Selasa (27/6/2023).
Akan tetapi, Direktur Eksekutif IMF memberikan catatan, kebijakan itu harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan tersebut juga harus dibentuk dengan tetap meminimalisir dampak efek rembetan ke wilayah lain.
"Terkait dengan hal tersebut, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis IMF.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Tidak Mau Diatur IMF, Hilirisasi Harga Mati", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2023/06/30/173340526/indonesia-tidak-mau-diatur-imf-hilirisasi-harga-mati?page=all#page2.