SonoraBangka.ID - Pemerintah menegaskan tidak akan mengikuti rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang meminta Indonesia untuk meninjau kebijakan hilirisasi dan mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Bagi pemerintah, hilirisasi tak bisa ditawar-tawar atau harga mati. Indonesia akan tetap memprioritaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah komoditas tambang.
"Bahwa langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, dan larangan ekspor tetap kita lakukan," kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dia dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Ia mengaku tak masalah jika negara lain keberatan dengan kebijakan tersebut dan mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Pemerintah akan menghadapi gugatan tersebut.
Hal ini juga yang sedang dihadapi pemerintah terkait penerapan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020, yang kemudian digugat Uni Eropa ke WTO. Meski sempat dimenangkan Uni Eropa pada Oktober 2022, namun di akhir tahun lalu pemerintah memutuskan mengajukan banding.
"Kalau kita ke WTO, ke WTO saja, masak negara lain boleh (hilirisasi), kita enggak boleh, yang benar saja," imbuh Bahlil.
Ia menuturkan, hilirisasi merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk menjadi negara maju. Sebab salah satu kunci untuk menjadi negara maju adalah industrialisasi.
Bahlil menyebut, hal itu seperti yang dilakukan negara-negara Eropa pada abad ke-16 yang memulai industrialisasi sektor tekstil. Amerika Serikat (AS) sekitar 1930 mengenakan tarif impor 40 persen yang bertujuan untuk membangun industri dalam negeri.
Selain itu, ada China yang pada 1980-an menetapkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produknya harus mencapai 80 persen. Serta Finlandia yang pada 1986 menerapkan kebijakan bahwa investor asing tidak boleh memiliki saham lebih dari 20 persen.
"Negara-negara itu pun pada akhirnya menjadi negara-negara hebat. Ini sejarah. Apakah kita Indonesia tidak boleh mengikuti jejak mereka?," ungkapnya.
Bahlil menjelaskan, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel telah berdampak baik bagi perekonomian Indonesia. Hal ini tercermin dari hasil ekspor produk nikel yang sudah diolah di dalam negeri.
Pada 2017-2018, nilai ekspor Indonesia untuk produk nikel hanya berkisar 3,3 miliar dollar AS. Namun dengan diterapkannya kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada awal 2020, nilai ekspor produk nikel yang sudah di olah melonjak menjadi 30 miliar dollar AS pada 2022.
"Jadi dengan kita melakukan hilirisasi, itu penciptaaan nilai tambahnya sangat tinggi sekali di negara kita," kata Bahlil.
Sebelumnya, melalui dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, lembaga itu meminta pemerintah RI untuk mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Dalam dokumen itu disebutkan, Direktur Eksekutif IMF menyadari, Indonesia tengah fokus melakukan hilirisasi pada berbagai komoditas mentah seperti nikel. Langkah ini dinilai selaras dengan ambisi Tanah Air untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas ekspor.
"Menarik investasi asing langsung dan memfasilitasi transfer keahlian dan teknologi," tulis dokumen tersebut, dikutip Selasa (27/6/2023).
Akan tetapi, Direktur Eksekutif IMF memberikan catatan, kebijakan itu harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan tersebut juga harus dibentuk dengan tetap meminimalisir dampak efek rembetan ke wilayah lain.
"Terkait dengan hal tersebut, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis IMF.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Tidak Mau Diatur IMF, Hilirisasi Harga Mati", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2023/06/30/173340526/indonesia-tidak-mau-diatur-imf-hilirisasi-harga-mati?page=all#page2.