Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tegas tak mau diatur IMF soal hilirisasi tambang.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tegas tak mau diatur IMF soal hilirisasi tambang. ( dok. Sekretariat Presiden)

Indonesia Tidak Mau Diatur IMF, Hilirisasi Harga Mati

1 Juli 2023 10:26 WIB

SonoraBangka.ID - Pemerintah menegaskan tidak akan mengikuti rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang meminta Indonesia untuk meninjau kebijakan hilirisasi dan mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Bagi pemerintah, hilirisasi tak bisa ditawar-tawar atau harga mati. Indonesia akan tetap memprioritaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah komoditas tambang.

"Bahwa langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, dan larangan ekspor tetap kita lakukan," kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dia dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).

Ia mengaku tak masalah jika negara lain keberatan dengan kebijakan tersebut dan mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Pemerintah akan menghadapi gugatan tersebut.

Hal ini juga yang sedang dihadapi pemerintah terkait penerapan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020, yang kemudian digugat Uni Eropa ke WTO. Meski sempat dimenangkan Uni Eropa pada Oktober 2022, namun di akhir tahun lalu pemerintah memutuskan mengajukan banding.

"Kalau kita ke WTO, ke WTO saja, masak negara lain boleh (hilirisasi), kita enggak boleh, yang benar saja," imbuh Bahlil.

Ia menuturkan, hilirisasi merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk menjadi negara maju. Sebab salah satu kunci untuk menjadi negara maju adalah industrialisasi.

Bahlil menyebut, hal itu seperti yang dilakukan negara-negara Eropa pada abad ke-16 yang memulai industrialisasi sektor tekstil. Amerika Serikat (AS) sekitar 1930 mengenakan tarif impor 40 persen yang bertujuan untuk membangun industri dalam negeri.

Selain itu, ada China yang pada 1980-an menetapkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produknya harus mencapai 80 persen. Serta Finlandia yang pada 1986 menerapkan kebijakan bahwa investor asing tidak boleh memiliki saham lebih dari 20 persen.

"Negara-negara itu pun pada akhirnya menjadi negara-negara hebat. Ini sejarah. Apakah kita Indonesia tidak boleh mengikuti jejak mereka?," ungkapnya.

SumberKOMPAS.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm