Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menstabilkan harga dari petani hingga pabrik.
"Mereka membuat harga itu beda-beda, semestinya ini perlu distabilkan agar harga ditingkat petani sampai pabrik itu sama dan ini menjadi persoalan," ucap Eka Budiartha.
"Yang terjadi adalah multitafsir terhadap Kementan 1 tahun 2018 seolah-olah harga yang ditetapkan itu, hanya untuk petani plasma padahal dalam permentan tidak diatur karena yang diatur adalah kemitraan," lanjutnya.
Kabid Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bangka Belitung, Aprilogra menambahkan bahwa sejumlah perusahaan belum memenuhi kewajiban dalam memenuhi hak masyarakat.
"Ada 53 perusahaan jadi kalau berbicara perkebunan sawit, tidak terlepas dari fasilitasi pembangunan kebun sawit. Jadi memang perusahaan wajib memfasilitasi 20 persen kebun untuk masyarakat apakah dengan pola kemitraan, bagi hasil atau hibah," kata Aprilogra.
Oleh karena itu, ia berharap perusahaan dapat memperhatikan hak dan dampak keberadaan mereka pada masyarakat.
"Untuk fasilitasi kebun masyarakat karena sudah aturannya, memang harus dipenuhi oleh perusahaan. Kami dari dinas menyambut baik, adanya pansus yang bisa membantu kinerja kami di lapangan," bebernya.
Ketua Apkasindo Bangka Tengah, Maladi, mendukung keberadaan Pansus sebagai upaya untuk mengatasi polemik perkebunan sawit.
Dia berharap agar pansus ini bisa mengawal proses dari awal hingga akhir dan tidak terhenti di tengah jalan.
"Kami berharap banyak dengan pansus karena kami mendukung kinerjanya, saya harap pansus ini bisa mengawal dari awal hingga akhir jangan sampai ditengah jalan masuk angin," ungkap Maladi.