SONORABANGKA.ID - Carut marut bisnis pertambangan timah di Bangka Belitung hingga kini semakin tak terbendung.
Alih-alih melakukan penyelamatan sumber daya alam untuk kepentingan bangsa, negara justru turut andil memberikan peluang secara luas untuk eksploitasi timah tanpa kontrol.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 2022 lalu menilai perlu adanya pembenahan tata kelola industri timah dalam negeri seiring adanya potensi kerugian negara Rp2,5 Triliun dari pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah operasi PT Timah Tbk (TINS).
Temuan yang didapati oleh BPKP ini seharusnya dicermati oleh pihak-pihak terkait termasuk Aparat Penegak Hukum (APH). Sebab, potensi kerugian negara ini berdampak ke segala aspek, termasuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan.
Menanggapi persoalan itu, Babel Resources Institute (BRiNST) menggelar Webinar Nasional dengan tema “Di Balik Jor-joran RKAB Timah dan Terungkapnya Korupsi SDA," Senin (23/10/2023) pagi.
Webinar ini menghadirkan narasumber Direktur Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi (UHLBEE) Jampidsus, Kejaksaan Agung Dr. Undang Mugopal, SH., M. Hum, Direktur BRiNST Teddy Marbinanda, dan Wakil Rektor UBB Dr. Dwi Haryadi, S.H., M.H sebagai Moderator.
Dalam webinar ini, Direktur BRiNST, Teddy Marbinanda menilai kegiatan penambangan di Bangka Belitung masih jauh dari rasa keadilan dan ketertiban hukum.
Selama ini para pengepul timah memperoleh bijih timah dari tambang rakyat illegal dan kemudian diekspor oleh perusahaan timah.
Oleh karna itu, BRiNST meragukan data yang menjadi penerbitan RKAB perusahaan timah.
Tak hanya itu, BRiNST pun mencurigai Ekspor timah mengalir deras dari perusahaan smelter timah yang hanya memiliki IUP di bawah 10 ribu hektar, bahkan ada yang di bawah seribu hektar.
“Dari riset kami, kami meragukan apakah persetujuan RKAB sudah sesuai prosedur atau tidak,” ungkap Teddy Marbinanda.
Menurutnya, persoalan penambangan timah di Bangka Belitung perlu mendapat perhatian serius.
"Harus adanya penindakan hukum untuk menghindari kerugian negara karena praktik penambangan timah secara ilegal saat ini membuat semua orang leluasa mengambil timah tanpa pertanggungjawaban yang jelas,"
Pihaknya pun meminta Kementerian ESDM mengevaluasi RKAB Perusahaan Timah di Indonesia. Ditambah lagi, kuota ekspor yang diberikan sangat erat kaitannya dengan persetujuan RKAB yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral Batubara, Kementerian ESDM.
“Bagaimana dari temuan BRiNST sudah seharusnya ada penindakan hukum untuk menghindari kerugian negara karena praktik penambangan timah secara ilegal saat ini membuat semua orang leluasa mengambil timah tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian ESDM harus melakukan evaluasi dan mengkaji ulang RKAB perusahaan pertambangan timah di Indonesia,” tegas Teddy Marbinanda.
Tak lupa, Pihaknya pun mengapresiasi Kejaksaan Agung turun gunung melakukan penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi pertambangan timah.
Sementara itu, Direktur Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi (UHLBEE) Jampidsus, Kejaksaan Agung RI, Undang Mugopal, SH., M. Hum, mengungkapkan ada sejumlah modus korupsi di bidang pertambangan.
Modus itu diantaranya, Tindak Pidana Melakukan Pertambangan Tanpa Izin, Tindak Pidana Menyampaikan Data Laporan Keterangan Palsu, Tindak Pidana Melakukan Operasi Produksi di Tahapan Eksplorasi, Tindak Pidana Memindahtangankan Perizinan Kepada Orang Lain hingga Tindak Pidana Tidak Melakukan Reklamasi dan Pascatambang.
Selain modus itu, Undang Mugopal mengungkapkan kasus korupsi di bidang pertambangan yang terdeteksi di antaranya suap atau gratifikasi didalam izin usaha pertambangan, pemanfaatan hutan secara ilegal untuk pertambangan, tidak dilakukan renegoisasi peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang meneral dan batubara, manipulasi data ekspor sehingga berpengaruh terhadap PNBP negara, penyimpangan pada Domestic market Obligatioan (DMO), perizinan tidak didelegasikan ke Pemerintah Pusat, rekomendasi teknis fiktif, berbelit-belit, hanya sebagai formalitas hingga mafia tambang terhadap backing-backing pertambangan ilegal tanpa izin.
Pada kesempatan itu, Undang Mungopal juga mengungkapkan, bahwa saat ini Kejaksaan Agung sedang menangani dugaan tindak pidana korupsi pertambangan timah di dua klaster yakni klaster BUMN dan klaster pemerintah daerah.
Menjawab tentang modus manipulasi ekspor dan penerbitan Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) smelter timah, Undang Mugopal menyebut dua hal itu bisa menjadi modus korupsi.
“Ini salah satu modus yang disampiakan yang sedang k ita tangani, ini satu di antara delapan modus korupsi pertambangan yang terjadi. Seolah-olah (RKAB) sudah sesuai prosedur, kadang penyidik menemukanmodus korupsi itu,” kata Undang Mungopal.
Ia mengatakan modus korupsi yang ditangani adalah tindak pidana korupsi dalam pengurusan IUP. Ia menyebut saat ini Kejagung sedang melakukan penggeledahan terkait korupsi pertambangan timah.
“Di dalam ada yang disampaikan itu (soal RKAB). Intinya kalau sudah sampai prosedur, tidak mungkinlah penyidik mempermasalahkan itu. Kasusnya di Bangka Belitung, digeledahnya ada yang di Surabaya dan sebagainya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada info yang akurat dari Direktur Penyidikan(Kejagung),” katanya.
Dirinya juga berharap pihak-pihak yang memiliki data, bisa melaporkan ke pihak kejaksaan yang ada di daerah maupun ke Kejaksaan Agung.
“Kalau ada laporan dari masyarakat, minimal jadi kompas kita. Kita menangani perkara korupsi tanpa kompas akan butuh waktu. Kalau ada pihak memiliki data laporan lebih bagus sampaikan ke kita, kita analisa, apakah laporan tersebut bisa digunakan,” pungkasnya.