SonoraBangka.ID - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tengah berada dalam tren depresiasi. Bahkan, kurs mata uang Garuda telah menembus level psikologis Rp 16.400 per dollar AS.
Sejumlah pengamat pun memproyeksi, depresiasi rupiah masih berlanjut dalam jangka waktu menengah. Hal ini seiring dengan ketidakpastian pasar keuangan yang tetap tinggi sehingga mendongkrak indeks dollar AS dan menekan kurs mata uang lain, termasuk rupiah.
Lantas, dengan tren dan potensi pelemahan yang berlanjut, apakah Bank Indonesia (BI) perlu untuk kembali mengerek suku bunga acuannya?
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, keputusan BI untuk menaikkan suku bunga BI-Rate bakal tergantung hasil peninjauan atau stress test terhadap jangka waktu gejolak pasar keuangan.
Jika gejolak dihitung berlangsung dalam jangka pendek, BI dinilai tidak perlu langsung mengerek suku bunga acuannya, yang saat ini berada di level 6,25 persen.
"Di tahapan awal, BI tidak akan serta-merta langsung menaikkan suku bunga acuan," kata dia, Selasa (18/6/2024).
Bukannya mengerek suku bunga acuan, Yusuf bilang, BI akan fokus melakukan intervensi pasar keuangan. Selain itu, untuk menarik minat investor asing, BI bakal memaksimalkan instrumen Sekuritas Rupiah BI (SRBI) atau Sekuritas Valuta Asing BI (SVBI).
"Yang tujuannya untuk kembali memperkuat nilai tukar rupiah dan menahan agar nilai tukar rupiah tidak terdepresiasi lebih dalam," katanya.
Berbeda, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, untuk meredam dampak pelemahan rupiah, BI perlu mengerek suku bunga acuannya. Bahkan, BI dinilai perlu untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis point atau 0,5 persen.
"Tapi itu pun tidak cukup," ujarnya.