“Setelah dimonitor tinggi, berat, dan lingkar kepalanya, hasilnya ditaruh di kurva pertumbuhan untuk mendeteksi. Kalau postur anak termasuk pendek apakah memang karena genetik dan masih bisa dikejar, atau disebabkan stunting,” papar dokter dari RS Pantai Indah Kapuk Jakarta ini.
Jika orangtua tidak memperbaiki di tahun-tahun awal kehidupan, maka sebagian besar konsekuensi tersebut tidak dapat diubah.
“Berbeda dengan persepsi umum, kontribusi genetika pada pertumbuhan tinggi badan sejak bayi hingga anak usia dini relatif kecil, sebaliknya nutrisi bersama dengan faktor lingkungan seperti kebersihan dan olah raga adalah kuncinya,” katanya.
Standar pengukuran
Pengukuran berat dan tinggi badan balita idealnya dilakukan 8 kali dalam 12 bulan.
Namun sekitar 40 persen tidak dipantau sesuai standar, bahkan ada yang tidak pernah ditimbang.
Jadi, tidak semua anak bisa dipantau dengan rutin.
Apalagi di masa pandemi ini, banyak orangtua yang takut membawa balitanya ke dokter untuk melakukan kontrol rutin.
Hal itu juga dirasakan oleh influencer Tantri Namirah, ibu dari anak berusia dua tahun.
“Karena saya takut ke rumah sakit, jadi tidak mengecek pertumbuhan anakku. Di rumah memang ada timbangan, tapi tidak bisa mengukur tinggi badannya,” kata Tantri.
Untuk mengukur pertumbuhan anak diperlukan ketepatan, demikian dikatakan Conny.
Selain itu, dibutuhkan juga alat-alat yang terkalibrasi dengan teknik pengukuran yang benar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ukur Berat dan Tinggi Badan Anak Secara Rutin", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2020/08/28/082412620/ukur-berat-dan-tinggi-badan-anak-secara-rutin.